Ke esokkan harinya, suasana sarapan pagi yang biasanya penuh kehangatan berubah menjadi dingin dan canggung. Aisyah terus menundukkan kepalanya sambil menikmati pancake buatan Fatimah. Ia tak mau menatap Abimana yang juga tengah menikmati sarapan yang sama.
Fatimah yang melihat situasi setegang ini hanya bisa menghela napas. Ia sedang dihadapkan pada dua manusia yang sama-sama keras kepala. Buah jatuh tak jauh dari pohonnya memang.
Abimana lebih dulu menghabiskan sarapannya, lalu meneguk segelas air putih yang sudah disiapkan oleh Fatimah. Netranya menatap Aisyah yang sedang memakan sarapannya dengan lesu. Ia sangat tahu jika putri kesayangannya itu sedang kesal padanya. Abimana berdehem membuat suasana semakin menegang.
“Nanti malam keluarga Purnama akan datang untuk melamar, persiapkan semuanya dengan baik.”
Aisyah hampir saja menyemburkan makanan yang ada dalam mulutnya, perkataan Abimana begitu mengejutkannya. Sebisa mungkin ia menenangkan diri dengan meneguk segelas susu cokelat kesukaannya. Sedangkan Fatimah mengangguk paham.
“Dan kamu Aisyah, jangan coba-coba melakukan apa pun. Atau kamu tau konsekuensinya!” tegas Abimana pada Aisyah.
Dengan susah payah Aisyah menelan ludahnya sendiri, manik cokelatnya menatap Abimana yang begitu terlihat serius. Namun setelahnya ia kembali menatap pancake yang hanya tinggal setengah. Kali ini ia benar-benar tak bisa membantah, Aisyah sangat tahu bagaimana seriusnya Abimana dengan perkataannya.
Semalam suntuk pula Aisyah telah memikirkan ini semua, mungkin yang bisa dilakukan Aisyah sekarang adalah hanya pasrah. Pasrah dengan keputusan Abimana yang sudah menjodohkannya. Perkataan Fatimah benar, dirinya tak pernah dituntut apa pun selama ini. Jadi, apa salahnya kali ini ia memenuhi permintaan Abimana yang menurutnya begitu konyol.
Baiklah, dengan berat hati aku menerima perjodohan ini, batin Aisyah yang masih merasa kesal.
Ia tentu saja masih memikirkan tentang perasaannya pada Raihan. Meski selama ini Raihan tak pernah menunjukkan tanda-tanda, walaupun perlakuannya selalu baik pada Aisyah. Akan tetapi, mau sampai kapan ia menunggu? Perasaan gengsi itulah yang membuatnya ragu untuk memulai.
“Kenapa kamu hanya diam? Jangan coba merencanakan sesuatu, Aisyah.”
“Iya, Ayah.”
Abimana mengembuskan napasnya lalu berkata, “Apa kamu tidak menyayangi Ayah?”
Aisyah terkesiap dan langsung menatap Abimana.
“Hanya ini permintaan Ayah, Nak.”
Suara Abimana merendah kala tatapannya bertemu dengan manik cokelat milik Aisyah. Aisyah sedikit tertegun, ia pun mengangguk tanpa ekspresi.
Aisyah kembali menghabiskan sarapannya, setelah meneguk habis segelas susu cokelat, ia beranjak untuk berpamitan.
“Aisyah pamit mau ke toko.”
Aisyah mencium kedua pipi Fatimah seperti biasa. Kemudian dengan canggung mencium kedua pipi Abimana. Ia pun melenggang keluar rumah menuju garasi dan mengeluarkan mobilnya. Meninggalkan bangunan yang terasa mencengkam baginya pagi ini.
☘☘☘
Sepanjang perjalanan Aisyah tak hentinya mengembuskan napas. Seolah hidupnya kini begitu rumit, memikirnya saja membuat kepala Aisyah kembali berdenyut. Ia begitu memikirkan alasan kenapa Abimana menjodohkannya. Aisyah sangat sayang pada kedua orang tuanya, ia tak ingin membuat keduanya kecewa. Mungkin dalam hal lain, Aisyah akan senang hati menurutinya. Namun saat ini, permintaan Abimana begitu bertentangan dengan isi hatinya.
“Kenapa Ayah tega melakukan ini.”
Helaan napas terdengar kembali. Suasana hatinya kali ini benar-benar tidak sejalan, pikirannya begitu kalut, seakan dirinya ingin menghilang saja dari muka bumi.
Aisyah ingin sekali menolak dengan keras, tetapi hatinya tak tega. Takut jika perlakuannya akan menyakiti perasaan orang yang sudah membesarkannya, memanjakannya selama ini dengan memenuhi segala keinginannya.
“Kamu bisa Aisyah,” ucapnya menyemangati diri sendiri.