Kini Aisyah dalam perjalanan pulang, mobilnya melaju di tengah keramaian lalu lintas kota. Hari ini setelah mengetahui kabar Raihan, ia begitu bersemangat. Sejenak dapat melupakan soal permasalahan hidupnya. Aisyah begitu bahagia memiliki sahabat seperti Salsa dan Raihan, yang selalu ada di saat ia benar-benar butuh sandaran dan hiburan.
Namun, saat mobil yang ia kendarai memasuki pekarangan rumah, perkataan Abimana pagi tadi kembali menari-nari di kepalanya. Sebelum benar-benar turun menginjakkan kakinya keluar mobil, Aisyah sejenak mengembuskan napasnya. Baru saja ia dapat melupakan semua masalah hidupnya, kini masalah itu memang sepertinya tak bisa dihindari.
“Huh, kamu gak akan bisa lari ke mana-mana, Aisyah,” keluhnya sendiri.
Aisyah pun meraih tasnya yang terletak di kursi sebelah, kemudian keluar dari mobil kesayangannya. Memasuki bangunan lantai dua bercat putih itu, dengan perasaan tak menentu. Langkahnya begitu malas, seakan jika ia masuk maka seluruh hidupnya sebentar lagi akan benar-benar berubah. Namun, jika ia berbalik arah meninggalkan bangunan itu, hidupnya tidak tahu akan seperti apa.
Embusan napas terdengar kembali, ia pun perlahan membuka pintu utama dan melangkah masuk.
“Asalamualaikum.”
“Wa alaikumsalam, Nak.”
Fatimah menyahuti dengan sedikit berteriak dari arah dapur. Aisyah pun menyusul Fatimah, terlihat Fatimah sedang sibuk membuat makanan yang tak biasanya dalam porsi yang tak biasa juga. Aisyah paham, jika semua yang Fatimah lakukan adalah untuk menyambut kedatangan calon suami dan mertuanya nanti malam.
Mengingat kata ‘Calon Suami’ membuat jantung Aisyah tiba-tiba berpacu lebih cepat. Degupan jantung yang tak biasanya ia rasakan. Seakan ingin meronta keluar dari tempatnya.
“Sudah pulang, Nak? Ya sudah, mandi sana. Bunda ada sesuatu buat kamu, sudah Bunda taruh di kamar,” ucap Fatimah ketika melihat Aisyah menghampirinya.
Aisyah membalas dengan deheman lalu mengangguk, mencoba menetralkan suasana jantungnya. Ia pun melangkah ke meja makan dan menuangkan segelas air putih. Dengan cepat ia meneguk minuman tersebut hingga tandas tak tersisa.
“Kalau gitu, Aisyah ke kamar dulu, Bun.”
Fatimah mengangguk dan tersenyum ketika putrinya itu melewatinya.
Dengan cepat Aisyah melangkah menaiki anak tangga. Dan begitu sampai di dalam kamar, ia pun melempar tasnya ke atas tempat tidur dan juga merebahkan tubuhnya di sana. Tiba-tiba tangannya menyentuh sebuah kotak yang berada tepat di sebelahnya.
“Apa ini?”
Dengan menautkan kedua alisnya, Aisyah memperbaiki posisi duduknya menjadi bersila di atas tempat tidur. Di raihnya kotak berwarna putih tersebut, lalu membukanya. Mata Aisyah seketika berbinar melihat isinya. Bibirnya terbuka sedikit, tangannya pun mengelus perlahan benda yang ada di dalam kotak tersebut.
“Astaga, apa ini untukku?”
Aisyah masih tak percaya, dress cantik yang selama ini ia inginkan berada di hadapannya. Tangannya pun perlahan meraih dress tersebut. Kainnya selembut sutra, model kerah sabrina yang simple, dan tentu saja warna kesukaannya.
Demi apa? Karena sebuah baju mampu membuat suasana hatinya kembali membaik, Aisyah pun berputar-putar di depan cermin sambil meletakkan baju tersebut di depan tubuhnya. Namun suasana hati yang baik itu tak berlangsung lama, kala dirinya mengingat sesuatu.
“Apa ini yang dimaksud hadiah dari Bunda untukku? Tapi untuk apa? Apa jangan-jangan ….”
Embusan napas kembali terdengar. Otaknya kembali bekerja dan membuatnya paham maksud dari semua ini.
☘☘☘