Seminggu sudah berlalu dan dalam seminggu ini pula Fahri terus mendekatkan diri pada Aisyah. Aisyah tidak mempermasalahkannya, menurutnya Fahri adalah laki-laki yang baik, selalu memperlakukan Aisyah dengan manis. Contohnya saja dua hari yang lalu, saat Aisyah sedang sibuk di toko kue, Fahri tiba-tiba datang berkunjung membawakan sebuah bekal makanan kesukaan Aisyah.
Awalnya Aisyah sangat malu, tetapi ia dapat melihat ketulusan hati Fahri padanya. Meskipun belum jatuh hati terlalu dalam pada Fahri, jujur saja sifat Fahri dapat diyakini akan meruntuhkan benteng hati Aisyah secara perlahan. Karena yang ada di pikiran Aisyah kini adalah jalani saja dulu semuanya.
🍀🍀🍀
Aisyah kini sedang duduk di meja rias yang ada di dalam kamarnya. Menatap pantulan dirinya dari cermin, berbalut dengan gaun pengantin yang begitu indah. Riasan wajahnya begitu natural, tetapi tetap terkesan elegan dan anggun. Aisyah tak percaya hari ini akan tiba juga, setelah seminggu pendekatan dengan Fahri justru membuatnya tak berpikiran untuk menolak perjodohan konyol ini lagi.
Lagi pula ia teringat saat Salsa mengatakan padanya jika Raihan selama ini tak pernah membalas perasaannya. Menganggap Aisyah seperti adik perempuan saja, menyayanginya sebatas sebagai seorang sahabat. Sakit memang, tetapi itulah kenyataannya. Aisyah bisa apa? Apa haknya menuntut Raihan untuk membalas perasaannya? Di sisi lain ada sosok Fahri yang terus berusaha menerobos benteng hatinya.
“Untuk apa aku mempertahankan perasaan yang ternyata tak pernah berbalas?”
Terdengar embusan napas dari mulut Aisyah. Ia memaksakan bibirnya untuk tersenyum. Tiba-tiba suara pintu terbuka terdengar membuat Aisyah mengalihkan pandangannya. Terlihat Salsa dan Fatimah masuk menghampirinya.
“Duh, cantik bener anak Bunda.”
“Akhirnya kamu akan melepas masa lajang lebih dulu dari pada aku dan Raihan.”
Aisyah hanya tersenyum, mereka pun duduk di kedua sisi Aisyah. Pantulan di cermin pun menampakkan sosok ketiganya. Fatimah menggenggam tangan Aisyah, dielusnya dengan sayang. Kemudian beralih meraih wajah Aisyah, memegangnya dengan lembut. Kini sepasang manik cokelat mereka saling beradu, dengan pandangan yang menyimpan sejuta kasih sayang.
“Sebentar lagi status kamu akan berubah, Nak. Gak kerasa anak gadis Bunda akan menjadi seorang istri,” ucap Fatimah tersenyum sambil mengelus wajah Aisyah.
“Rasanya baru kemarin Bunda menggendongmu, mengajarkanmu berjalan … sekarang kamu sudah tumbuh dewasa dan akan menjadi milik orang lain.”
Fatimah mengedipkan matanya dengan cepat, mengembuskan napasnya dengan pelan dan kemudian tersenyum.
“Ingat, jika nanti statusmu adalah seorang istri, maka sepenuhnya dirimu adalah tanggung jawab suamimu. Hormati dia, sayangi dia, turuti semua perintahnya jika menurutmu itu benar. Saling mengingatkan itu juga penting, agar kalian tidak menyimpan rasa egois. Nak, fondasi suatu hubungan dalam rumah tangga itu adalah kepercayaan. Dan ridho dari seorang suami itu adalah pintu surga seorang istri.”
Mata Aisyah tampak berkaca-kaca menahan bendungan bening di dalamnya. Matanya berkedip dengan cepat, agar cairan itu tak tumpah. Begitu pun dengan Fatimah yang mulai menggosok hidungnya dengan tisu.
“Bunda yakin, Fahri adalah laki-laki yang baik, dia akan menyayangimu, menjagamu dan melindungimu. Dan sekarang tugas Bunda dan Ayah akan digantikan oleh Fahri.”
“Ayah dan Bunda tetap yang terbaik buat Aisyah ….”
Terdengar isakan kecil dari Aisyah saat ia memeluk Fatimah. Inilah jalan seorang gadis yang akan berubah statusnya menjadi seorang istri. Di mana orang tua akan melepas tanggung jawab pada anak perempuannya, dan itu akan digantikan oleh sosok yang bernama suami.
“Sudah, jangan nangis … make up kamu luntur nanti,” ucap Fatimah mencairkan suasana yang sempat haru.