Tak terasa hari taksiran kelahiran Aisyah sudah mendekati. Ya, kini sudah memasuki bulan kesembilan. Cukup banyak yang mereka lalui di masa sebelumnya, yang mungkin akan dirindukan kembali.
Masa mengidam Aisyah yang banyak macamnya, Fahri yang begitu siaga menjadi seorang ayah. Beberapa momen yang mereka nikmati bersama selalu membawa kebahagiaan.
Kini Aisyah sedang duduk taman belakang setelah lelah berjalan mengelilingi halaman rumah. Hampir setiap pagi selama hamil besar Aisyah melakukan itu setiap hari. Terkadang di temani Fahri terkadang juga sendiri.
“Kalian ngapain, Nak di dalam? Mami udah gak sabar lihat kalian kadir ke dunia. Jangan berantem, ya. Kalian harus saling menyayangi satu sama lain.”
Aisyah mengelus-elus perutnya yang cukup besar sambil tersenyum. Sudah diketahui jika mereka akan memiliki anak kembar. Namun Aisyah dan Fahri tidak memeriksa apa jenis kelamin kedua anaknya. Katanya agar menjadi kejutan saja saat lahir nanti.
Tiba-tiba Fahri datang menghampiri dengan pakaian kerja yang sudah rapi. Membuat Aisyah sedikit terkejut. Biasanya Fahri akan pergi ke kantor sekitar jam sepuluh pagi. Ya, itu dilakukan Fahri selama Aisyah hamil. Bahkan terkadang ia enggan untuk ke kantor dan memilih di rumah menemani Aisyah.
“Mas mau ke mana? Rapi banget.”
“Mas dapat telpon dari kantor jam delapan ini ada rapat sama klien penting. Kali ini gak bisa diwakilkan, Sayang.” Sambil mengelus kepala Aisyah dengan lembut.
“Terus pulangnya jam berapa?”
“Gak tau, Mas usahakan, deh pulang jam makan siang.”
“Gak bisa apa dari rumah aja kerjanya?” Aisyah masih bersikeras menahan Fahri agar tidak pergi.
“Gak sopan, dong, Sayang. Apa lagi ini klien penting. Tendernya juga besar yang harus di awasi. Lebih baik di bicarakan secara langsung, ‘kan?” bujuk Fahri.
Aisyah mengembuskan napas pasrahnya. Ia sangat tahu pekerjaan suaminya begitu banyak tanggung jawab. Aisyah tidak ingin mementingkan ego. Baginya Fahri adalah suami yang begitu perhatian buktinya selama hamil dirinya rela melakukan apa pun keinginan Aisyah. Aisyah pun tersenyum.
“Baiklah, Mas. Tapi, izinkan Aisyah ke toko kue, ya. Kali ini saja ... Aisyah rindu Salsa,” mohon Aisyah dengan manja.
Kali ini Fahri yang mengembuskan napas gusarnya. Selalu saja ada keinginan Aisyah yang membuatnya sedikit khawatir. Namun, dirinya tak tega untuk melarang, apa lagi melihat raut Aisyah yang begitu menggemaskan.
“Baiklah, Mas izinkan. Tapi dengan syarat! Gak boleh cape, gak usah bikin kue, Mas akan beritahu Salsa atau Raihan untuk menjaga kamu.”
Aisyah memutar bola matanya malas. Namun setelahnya ia tersenyum. Sudah biasa mendapat wejangan seperti ini, bagi Aisyah ini adalah salah satu bentuk kekhawatiran Fahri padanya. Tak masalah dengan syarat yang diberikan.
“Baiklah, ya sudah, Mas berangkat gih entar telat.”
“Siapa bilang Mas membiarkanmu untuk pergi sendiri? Siap-siap sana. Mas tunggu in, sekalian Mas anter.”
Aisyah mengembuskan napas pasrah. Namun ia tetap menurut. Aisyah berjalan menuju kamar untuk segera bersiap-siap. Sedangkan Fahri berinisiatif membuatkan susu ibu hamil untuk Aisyah dan kopi untuk dirinya.
Tak memakan waktu lama. Sekitar sepuluh menit Aisyah sudah siap dengan pakaian ibu hamil yang terdapat pita di bagian perutnya. Selama hamil Aisyah jarang mengenakan make up. Namun tetap saja wajahnya terlihat lebih cantik natural karena kulitnya yang putih.
Fahri memberikan segelas susu cokelat itu pada Aisyah. Aisyah pun menyambutnya dan meminumnya hingga tandas tak tersisa. Fahri tersenyum melihat Aisyah mau menghabiskan susunya. Mereka pun keluar rumah dan tak lupa mengunci pintu. Masuk ke mobil dan melajukannya membelah jalanan.
☘☘☘
Setibanya di toko, Aisyah langsung turun meninggalkan mobil Fahri. Tak lupa ia berpamitan dengan memberikan kecupan untuk suaminya. Aisyah berbinar menatap bangunan tinggi yang telah mewujudkan impiannya dan kedua sahabatnya. Merasakan jatuh bangun ketika mendirikan dan menaruh harapan di sana.