Dentuman musik begitu menggelegar sekedar untuk berbicara pun membutuhkan tenaga ekstra, entah mengapa banyak yang suka berada di tempat keramaian hanya untuk meliuk likukkan tubuh demi menghilangkan beban pikiran, tidak cukup di situ, begitu banyak pula wanita yang berpakaian terbuka menjajahkan tubuhnya tanpa rasa malu sedikit pun tak tanggung tanggung wanita itu menggoda lelaki yang ia jumpai, tidak peduli muda, duda, bahkan yang tua bangka. Untuk mendapatkan upah mereka rela melakukan hal keji demi kehidupan tercukupi. Namun beda dengan sosok yang di ujung yang hanya melihat tanpa ada niatan untuk melakukan hal serupa, ia lebih tertarik dengan minuman yang dapat berdampak menjijikan, pusing, namun beban hidup seolah terangkat, namun tanpa sadar ia meracau tanpa sebab.
“Aisyah …” Berkali kali laki-laki itu menyebut satu nama, tatapan kososng, tampak acak acakan bau alkohol begitu melekat pada tubuhnya, “Aisyah,” lirihnya, sorot mata berkaca kaca terlihat begitu sangat frustasi entah sudah habis berapa tegukan hingga membuatnya seperti raga tanpa sukma.
“Adityanya Aisyah nggak boleh gini dong,” keluh Rahsya yang menyaksikan sendiri apa yang di lakukan oleh sahabatnya itu. Tatapan sendu kini berubah dengan mata yang memerah orang yang tengah berada dibawah alam sadar karena minuman yang laknat itu, ia menatap Rahsya tajam, “jangan pernah sebut nama lelaki bajingan itu,” geramnya melempar gelas yang ia bawa hingga membentur ubin menimbulkan suara pecahan kaca, ambyar seketika gelas yang tidak berdosa kena imbasnya.
“Sebajing bajingnya nama Aditya itu nama lo,” cibir Akmal berada di samping Rahsya menatap sahabatnya yang terpengaruh minuman dari ujung kepala hingga ujung kaki.
“Nama gue Putra bukan Aditya,” ucap Putra yang kekuh dengan penuh kebencian saat ia mengucapkan nama Aditya di bibir merah itu, “udah dong lo gak harus kek gini terus,” tutur Akmal.
“Apa ini karma buat gue? Karena dia bak permata yang di paksa buat sanding dengan barang yang tidak memiliki nilai guna, hingga ia diambil oleh sang penguasa?” Seketika tubuh Putra tidak memiliki keseimbangan dan jatuh tepat dimana pecahan gelas itu, membuat kulit putihnya tergores menimbulkan luka yang tidak memiliki rasa perih dari sang empu karena rasa sakit yang ia rasakan tidak sebanding dengan luka goresan pecahan kaca.
“Disaat masih banyak kasur nganggur kenapa lo lebih milih tersungkur di lantai penuh serpihan kaca sih, cinta emang buat lo bego,” gedumbel Rahsya yang memopong Putra penuh sayatan luka dibagian wajah dan lengannya.
“Gua bisa pulang sendiri,” ucap Putra yang sudah sadar dengan sempoyongan ia menuju motornya dan mengendarainya sendiri, Rahsya melihat Putra mengendarai motor ninja merah itu sedikit gusar karena keadaan putra yang mabuk berat apakah sampai dengan selamat? Ingin ia membantu mengantarkan dengan senang hati namun Putra menolak jika Rahsya kekuh untuk mengantarnya akan dipastikan ia habis ditangan sahabatnya itu. Tiap malam ia berkelana, tiap malam ia merasa hancur karena satu nama, tiap malam ia merasa tidak berguna ingin sekali menyalahkan takdir namun, takdir tau yang terbaik untuk kita. Takdir membawa kepahitan hidup agar kita bisa belajar dari kepahitan untuk menuju manisnya kehidupan. Malam ini begitu sepi dengan jalanan yang basah terguyur derasnya hujan, ia menancap gas dengan kecepatan penuh, sedikit oleng karena ia sedikit merasa pening, dari ujung jalan terdapat segerumbulan laki-laki berbadan kekar yang tengah menggoda gadis kecil pikir Putra, dengan cepat ia berada di ujung jalan memberhentikan kendaraan yang ia tunggangi.
“Mau di apain pak dia,” tunjuk Putra tepat di mana gadis yang meringkuk ketakutan, gadis itu menatap Putra penuh harap. “Jangan ikut campur, hahah,” kekehnya menatap Putra dari atas hingga bawah, tanpa ragu Putra mendekat ingin menghampiri gadis tersebut selangkah ia menyentuh gadis itu tubuh Putra terhempas dengan mudahnya, “eerrrggg,” erang Putra, tersenyum miring.
“Belum apa apa dah tepar lo,” ejek laki-laki yang bertato dan berotot. Tanpa basa basi Putra menonjok laki- laki itu tepat di bagian rahang, membuat preman yang lain mengeram kesal melihat ulah putra. Dan terjadilah adu jotos, tanpa diduga putra berhasil melumpuhkan enam lawan sekaligus. Ia menatap gadis dengan wajah yang pucat pasi karena menyaksikan langsung betapa kejamnya sosok Putra saat itu, “tenang lo aman,” ucapnya lembut detelinga, membuat gadis itu sedikit tenang karena mendengar ucapan Putra, begitu kasian meligat gadis di depannya menggigil, dengan sigap ia mencopot hoody yang ia kenakan dan menyodorkan ke gadis itu, “pakai udaranya dingin ntar lo sakit.” Tanpa ragu gadis itu mengambil dan memakainya, begitu lucu tubuh mungil dengan hody yang kebesaran milik Putra yang melekat di tubuhnya.
“Kakak nggak papa kan?” tunjuk gadis itu tepat diwajahnya yang luka akibat serpihan kaca di tambah lebab di sudut bibir dan hidungnya.
“Gak,” jawabnya singkat.
Putra melenggang pergi, ‘ish nggak ada niatin nganterin pulang apa’ batin gadis itu. Ia berdiri hendak pulang setelah mengetahui cowok yang menolongnya pergi begitu saja setelah menolong dirinya, sungguh ia sangat berterima kasih tanpa kehadiran cowok tersebut mungkin dirinya sudah jatuh kebada orang berhidung belang itu.
“Naik.”
“Anjir kaget,” gerutu gadis itu. Aneh itu lah yang terlintas di benak Putra sekali lagi Putra mengulangi ucapannya, “naik.” Dengan sigap ia naik dengan susah payah karena dengan badan miliknya yang mini malis membuatnya susah nangkring kuda besi milik Putra, lumayan buat penghilang setres melihat tingkah gadis itu. Motor yang di kendarai itu melaju kencang mau tidak mau gadis itu memegang erat tubuh Putra,