Langit Jakarta tahun 2044 mungkin tampak biru jernih, sebuah keberhasilan rekayasa di atas polusi masa lalu. Namun, di balik keanggunan Istana Merdeka, Presiden Nisa Farha menyimpan kegelisahan yang lebih pekat dari sekadar kabut asap ibu kota. Secangkir teh melati di pagi hari menjadi kemewahan langka di antara rapat kabinet dan keputusan genting yang menyangkut nasib jutaan jiwa. Di seberangnya, Reza Satria, sang suami, first gentleman dalam sejarah Indonesia, bukan hanya jangkar kewarasan Nisa dengan humor cerdasnya, tetapi juga rekan diskusi paling jujur.
Pagi itu, tawa renyah Nisa yang jarang terdengar di ruang formal kenegaraan, berpadu dengan berita pagi yang dibacakan Reza. Namun, di balik canda soal popularitas holo-cat, terbentang data suram yang menyesakkan dada sang Presiden. "Angka perceraian belum melandai, KDRT yang dilaporkan mungkin hanya puncak gunung es, dan yang paling membuatku sesak... angka pernikahan dini. Ribuan anak perempuan, Za, ribuan mimpi yang terkubur sebelum sempat mekar," lirih Nisa, suaranya tercekat. Berita-berita tragis tentang gadis yang bunuh diri karena kawin paksa, ibu muda meninggal karena menikah terlalu dini, hingga mahasiswi trauma akibat kekerasan, seolah menampar Nisa dari layar tablet Reza. Kontras yang menusuk antara ketenangan Istana dan kerapuhan fondasi keluarga bangsa di luar sana terasa begitu nyata.
"RUU Kesiapan Berkeluarga bagaimana kabarnya di DPR?" tanya Reza, memecah keheningan yang sarat beban.
"Jalan di tempat, seperti biasa," jawab Nisa datar. RUU ambisius itu, inisiatif personalnya untuk membangun kesiapan individu sebelum menikah – mental, emosional, finansial, hingga pemahaman resolusi konflik – menghadapi tembok tebal. Kelompok konservatif menuduhnya liberal dan mencampuri ranah privat, sementara lawan politik memanfaatkannya untuk menyerang. Surat penolakan dari berbagai majelis dan aliansi adat terus berdatangan, menolak pasal krusial soal batas usia minimal dan asesmen kesiapan mental.
"Padahal justru di situ intinya," sahut Reza gemas, "Bagaimana mau punya SDM unggul kalau fondasi keluarganya goyah?"
"Tapi mengubah cara pandang yang sudah mengakar ratusan tahun itu gak semudah membalik telapak tangan," balas Nisa lirih, frustrasi membayangi matanya yang biasanya tegas. "Percakapan di ruang sidang atau forum akademis rasanya tidak cukup menyentuh akar rumput, Za. Yang perlu diubah itu cara pandang di level keluarga, di hati setiap individu. Bagaimana caranya agar mereka sadar bahwa pernikahan itu butuh kesiapan luar biasa? Bagaimana caranya kita bisa masuk ke ruang-ruang privat itu, ke hati mereka, tanpa terkesan menggurui atau memaksa lewat hukum?"
Pertanyaan itu menggantung, menyiratkan pencarian akan jalan lain, jalan yang mungkin lebih lembut, lebih personal. Reza, dengan naluri media dan komunikasinya yang tajam, menangkap kata-kata kunci itu: personal, menyentuh, menemani, menjangkau langsung, teman bicara.
"Podcast," ucap Reza tiba-tiba, sebuah ide melintas.