Cintailah Dirimu sebelum Mencintainya
(Suara jingle podcast yang lembut, inspiratif, sedikit ceria khas anak muda, lalu fade out)
Nisa: Asalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh … Selamat pagi, siang, sore, di manapun teman-teman Istana Hati berada. Senang sekali rasanya, saya, Nisa Farha…
Reza: …dan saya, Reza Satria… mitra in crime-nya Ibu Presiden ini, hehe…
Nisa: (Tertawa kecil) Bisa aja Bapak ini. Kembali lagi di Curhat Cinta Istana. Tempat kita mencoba memahami labirin hati, merajut hubungan yang lebih baik, tidak hanya untuk diri sendiri, tetapi juga, percayalah, untuk bangsa ini.
Reza: Betul sekali. Karena keluarga yang kuat, hubungan yang sehat, itu kan dimulai dari individu yang juga… utuh, kan? Nah, Bu, hari ini kita mau membahas fondasi paling dasar nih, sesuatu yang sering sekali dibicarakan, tetapi kayaknya praktiknya… hmm, rumit?
Nisa: Tepat sekali, Pak. Kita akan bicara tentang mencintai diri sendiri. Self-love. Mungkin terdengar klise bagi sebagian orang, tetapi percayalah, ini adalah akar dari begitu banyak hal dalam hubungan kita. Tanpa fondasi ini, bangunan cinta semegah apapun, rentan goyah. Bukankah begitu?
Reza: Setuju seribu persen! Ibarat mau membangun rumah, kalau fondasinya tidak kokoh, ya bangunannya gampang ambruk kena angin sepoi-sepoi, apalagi badai! Hehe.
Nisa: Dan ini relevan sekali dengan kondisi banyak anak muda kita sekarang ya, Pak. Di tengah tekanan akademis, sosial media yang kadang 'beracun', banyak yang merasa insecure, merasa kurang, dan akhirnya mencari validasi atau menggantungkan kebahagiaan sepenuhnya pada pasangan. Ini jadi lingkaran yang kurang sehat. Kita ingin generasi penerus kita punya fondasi mental yang kuat, kan? Nah, ini ada curahan hati yang sangat mewakili keresahan ini, dari sahabat kita, kita sebut saja namanya ‘Rara’, usia 19 tahun. Silakan, Pak Reza.
Reza: Siap, Bu Presiden Hatiku. Ini dia curahan hati dari Rara…
(Suara Reza membaca surel dengan nada simpatik dan hangat)
Reza (membaca): "Halo Ibu Nisa dan Pak Reza. Saya Rara, 19 tahun, mahasiswi. Saya sedang dekat dengan seorang laki-laki, sebut saja ‘Dimas’. Kami belum pacaran resmi, tetapi intens berkomunikasi dan beberapa kali jalan. Masalahnya ada di saya, Bu, Pak. Saya merasa sangat tidak percaya diri. Saya selalu merasa kurang cantik, kurang pintar, kurang menarik dibandingkan teman-teman Dimas yang lain. Setiap kali Dimas tidak cepat balas chat atau terlihat sibuk, pikiran saya langsung negatif – 'jangan-jangan dia bosan?', 'jangan-jangan dia ketemu yang lebih baik?'. Saya jadi sangat cemas dan butuh kepastian terus-menerus dari Dimas. Kalau dia memuji sedikit saja, saya senang luar biasa, tetapi kalau dia diam atau cuek, rasanya dunia saya runtuh. Saya sadar ini tidak sehat, tetapi saya tidak tahu bagaimana cara menghentikannya. Saya takut rasa insecure saya ini malah membuat Dimas menjauh. Bagaimana caranya agar saya bisa lebih percaya diri dan tidak menggantungkan perasaan berharga saya pada perhatian Dimas? Saya ingin mencintai diri saya sendiri, tetapi bingung mulai dari mana."
(Hening sejenak, Nisa menarik napas perlahan)
Nisa: Rara… terima kasih sudah berani jujur pada perasaanmu dan menuliskannya pada kami ya, Nak. Ibu bisa merasakan sekali kecemasan dan rasa tidak nyaman yang kamu alami. Perasaan insecure, merasa tidak cukup baik, itu sangat manusiawi, apalagi di usia muda yang penuh perbandingan. Tetapi kesadaranmu bahwa ini tidak sehat dan keinginanmu untuk berubah itu adalah langkah pertama yang luar biasa. Kamu hebat sudah sampai di titik ini.
Reza: Betul. Banyak lho yang terjebak di situ bertahun-tahun tanpa sadar. Rara, perasaanmu itu valid, tetapi jangan biarkan perasaan itu mendikte nilai dirimu. Kamu itu berharga, Rara, terlepas dari bagaimana Dimas atau siapapun melihatmu saat ini. Nilai dirimu itu datang dari dalam, bukan stempel dari luar.