Curhat Cinta Istana

Shabrina Farha Nisa
Chapter #7

Merasa Siap dan Utuh

Episode 1.6: Nikmatnya Kesendirian - Merayakan Waktu Berkualitas dengan Diri Sendiri

(Suara jingle podcast yang sama, lembut, inspiratif, kali ini dengan nuansa yang tenang, damai, dan sedikit kontemplatif, lalu fade out)

Reza: Selamat datang kembali di episode terakhir dari Bab Pertama Curhat Cinta Istana! Saya, Reza Satria…

Nisa: …dan saya, Nisa Farha. Rasanya baru kemarin ya, Pak, kita memulai Bab 1 ini dengan membahas fondasi paling dasar: mencintai diri sendiri. Lalu kita berkelana ke isu cemburu karena medsos, tekanan teman sebaya, sakitnya di-ghosting, sampai dilema menyeimbangkan cinta dan cita-cita.

Reza: Betul, Bu. Rangkaian tema yang fokus pada bagaimana membangun diri yang utuh dan menavigasi percikan-percikan awal dalam hubungan. Nah, untuk menutup Bab 1 ini, kita akan bahas sesuatu yang seringkali dianggap ‘sedih’ atau ‘ngenes’, padahal bisa jadi sumber kekuatan dan kebahagiaan luar biasa.

Nisa: Apa itu, Pak?

Reza: Menikmati waktu sendirian! Solitude. Kemampuan untuk merasa nyaman, damai, bahkan bahagia saat sedang bersama diri sendiri. Sesuatu yang mungkin terasa asing bagi sebagian orang, terutama yang baru putus atau merasa ‘harus’ selalu punya pasangan.

Nisa: Anda benar sekali. Ada stigma di masyarakat kita bahwa ‘sendiri’ itu sama dengan ‘kesepian’ atau ‘tidak laku’. Padahal, keduanya adalah hal yang sangat berbeda. Dan kemampuan untuk menikmati kesendirian secara sehat justru merupakan tanda kedewasaan emosional dan fondasi diri yang kuat. Ini sangat relevan dengan curahan hati penutup bab 1 kita dari 'Tia', 25 tahun. Mari kita dengarkan.

(Suara Nisa membaca surel dengan nada hangat dan penuh pengertian)

Nisa (membaca): "Bu Nisa, Pak Reza, saya baru sekitar sebulan putus dari pacar saya. Sedihnya sudah mulai berkurang, tapi sekarang muncul tekanan baru. Teman-teman dan bahkan keluarga menyarankan saya untuk cepat-cepat 'move on' dan cari pacar lagi biar nggak kesepian katanya. Padahal sejujurnya, saya justru sedang ingin menikmati waktu sendiri dulu. Saya ingin fokus ke diri saya, menata hati, mengejar hobi saya lagi. Apakah keinginan saya ini aneh atau salah, Bu, Pak?"

(Hening sejenak, terdengar Nisa tersenyum lembut)

Nisa: Tia… jawaban singkatnya: Keinginanmu itu SAMA SEKALI TIDAK ANEH dan TIDAK SALAH! Justru, Nak, keinginanmu itu sangat, sangat BIJAKSANA dan SEHAT. Beri tepuk tangan untuk dirimu sendiri karena sudah mendengarkan kebutuhan hatimu di tengah tekanan eksternal! Setelah sebuah hubungan berakhir, memberi jeda untuk diri sendiri, untuk ‘bernafas’, untuk menata ulang kepingan hati, untuk kembali bertanya ‘siapa aku tanpa dia?’, itu adalah hadiah terindah dan terpenting yang bisa kamu berikan pada dirimu.

Reza: Setuju banget! Jangan biarkan suara-suara di luar sana – “Nanti keburu tua!”, “Kok betah sendirian?”, “Cari pelarian dong biar cepat lupa!” – mendikte langkahmu. Proses setiap orang itu unik. Kalau hatimu bilang kamu butuh waktu sendiri untuk menyembuhkan diri, fokus pada diri sendiri, rediscover yourself, ya ikuti suara hati itu! Itu intuisi yang sangat cerdas.

Nisa: Penting sekali untuk membedakan antara kesendirian (solitude) dengan kesepian (loneliness). Kesepian itu perasaan hampa, terisolasi, dan menyakitkan karena kurangnya koneksi sosial yang bermakna. Sedangkan kesendirian (solitude) yang dipilih secara sadar, seperti yang Tia inginkan, adalah kondisi di mana kita merasa nyaman, damai, dan utuh saat sedang bersama diri sendiri. Ini bukan tentang anti-sosial, tapi tentang kemampuan untuk mengisi ‘baterai’ jiwa, melakukan refleksi, atau sekadar menikmati ketenangan tanpa bergantung pada kehadiran orang lain.

Reza: Dan masa solitude ini, Tia, bisa jadi masa yang sangat produktif dan mencerahkan lho! Ini kesempatan emas untuk benar-benar merayakan dirimu! Lakukan semua hal yang mungkin tidak sempat kamu lakukan saat fokus pada hubungan. Apa hobimu yang dulu terbengkalai? Lukis lagi? Nulis lagi? Gabung komunitas baru? Belajar skill baru?

Lihat selengkapnya