Curhat Cinta Istana

Shabrina Farha Nisa
Chapter #8

Tanpa Perlu Dibicarakan....

Episode 2.1: Bulan Madu Belum Usai, Realita Menghampiri - Selamat Datang di Pernikahan!

(Suara jingle podcast yang baru, mungkin sedikit lebih dewasa namun tetap hangat dan optimis, fade out)

Nisa: Asalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh… Selamat datang kembali di Curhat Cinta Istana, dan selamat datang di Babak Kedua perjalanan kita! Saya, Nisa Farha…

Reza: …dan saya, Reza Satria! Wah, Bab 1 kemarin seru banget ya, Bu. Kita sudah kupas tuntas soal membangun fondasi diri, menavigasi cinta monyet sampai ghosting, dan menemukan kekuatan dalam kesendirian. Fondasi individunya sudah mulai kokoh nih, insyaallah.

Nisa: Amin. Nah, setelah fondasi diri kuat, banyak yang kemudian melangkah ke gerbang berikutnya: Pernikahan. Momen sakral, indah, penuh harapan. Tapi… seringkali setelah pesta usai dan kita mulai menjalani hari-hari sebagai suami istri, ada fase ‘kaget’ yang dialami hampir semua pasangan baru. Fase di mana ekspektasi indah bertemu realita sehari-hari yang… hmm, kadang tidak seindah di film-film ya, Pak?

Reza: (Tertawa) Bisa dibilang gitu, Bu! Fase “Loh, kok kaus kakinya di sini?”, “Loh, kok tidurnya mengorok?”, “Loh, kok cara mencet odolnya beda?”. Hal-hal sepele yang kalau nggak dikomunikasikan bisa jadi bom waktu. Selamat datang di pernikahan sesungguhnya! Hehe.

Nisa: Betul. Transisi dari masa pacaran atau bulan madu yang penuh bunga-bunga ke realita hidup serumah dengan segala kebiasaan, ekspektasi, dan tanggung jawab baru itu adalah lompatan besar. Dan hari ini kita akan membahas fase krusial ini, berdasarkan curahan hati dari pasangan muda, ‘Lia dan Bayu’, yang baru 8 bulan menikah. Silakan, Pak Reza.

(Suara Reza membaca surel dengan nada simpatik, sedikit menirukan gaya pasangan muda)

Reza (membaca): "Bu Nisa, Pak Reza, kami berdua pendengar setia. Kami menikah 8 bulan lalu, awalnya semua indah banget. Tapi akhir-akhir ini kami jadi sering sekali bertengkar karena hal-hal sepele di rumah. Misalnya soal pekerjaan rumah tangga, saya (Lia) merasa semua dibebankan ke saya, sementara Bayu merasa dia sudah bantu 'sebisanya' setelah kerja. Standar kebersihan kami juga beda. Saya maunya kinclong, Bayu lebih santai. Lalu soal keuangan, saya merasa Bayu boros sekali dengan hobinya (modif motor!), sementara saya ingin banget nabung buat DP rumah. Rasanya kami tidak pernah membicarakan hal-hal ini sedetail ini sebelum menikah, kami pikir akan berjalan alami saja. Sekarang malah jadi sumber stres dan bikin suasana rumah nggak enak. Kami harus mulai dari mana ya, Bu, Pak, buat memperbaikinya?"

(Hening sejenak)

Nisa: Lia, Bayu… terima kasih sudah berbagi keresahan hati kalian ya. Pertama-tama, peluk hangat dari kami dan selamat datang di ‘klub’ pernikahan! Hehe. Apa yang kalian alami ini – kaget dengan kebiasaan pasangan, beda ekspektasi soal peran dan keuangan, sering cekcok karena hal sepele – itu NORMAL sekali dialami oleh pasangan baru. Kalian tidak sendirian dan pernikahan kalian tidak gagal. Justru, kesadaran kalian bahwa ada yang perlu diperbaiki dan keinginan untuk mencari solusi di usia pernikahan yang masih muda ini adalah langkah pertama yang HEBAT dan sangat positif!

Reza: Betul! Banyak pasangan yang membiarkan masalah-masalah kecil ini menumpuk sampai jadi besar dan sulit diurai. Kalian sudah selangkah lebih maju. Nah, akar masalahnya seringkali persis seperti yang Lia & Bayu rasakan: Ekspektasi yang tidak terucapkan dan tidak selaras. Kita semua masuk ke pernikahan membawa ‘ransel’ dari keluarga asal kita – isinya kebiasaan, asumsi, cara pandang soal peran suami-istri, soal uang, soal kebersihan. Kita lupa kalau pasangan kita juga bawa ‘ransel’ dengan isi yang bisa jadi beda banget!

Nisa: Dan kita seringkali berasumsi pasangan kita ‘sudah tahu’ atau ‘seharusnya mengerti’ apa yang kita inginkan atau harapkan, tanpa perlu dibicarakan. Padahal, dia bukan cenayang, kan? Hehe. Menganggap pernikahan akan ‘berjalan alami saja’ tanpa diskusi detail soal hal-hal praktis ini adalah resep umum menuju kekecewaan dan pertengkaran.

Reza: Kuncinya adalah mengubah mindset: Pernikahan itu kerja tim. Bukan lagi “urusan Lia” atau “urusan Bayu”, tapi “urusan KITA”. Bukan lagi “uangku” dan “uangmu”, tapi “uang KITA”. Termasuk soal tumpukan piring kotor atau tagihan modif motor itu, hehe. Nah, kalau mindset-nya sudah “tim”, pertanyaannya “harus mulai dari mana?” jadi lebih mudah dijawab.

Nisa: Mulailah dari KOMUNIKASI TERBUKA TANPA EMOSI. Cari waktu yang tenang, saat kalian berdua tidak sedang lelah atau marah. Duduk berdua. Dan bahas satu per satu:

Lihat selengkapnya