Episode 2.2: Menantu vs. Mertua - Menjaga Harmoni tanpa Kehilangan Kendali
(Suara jingle podcast bab 2 yang sama, hangat dan optimis, mungkin dengan sedikit sentuhan musik tradisional yang elegan di awal, lalu fade out)
Nisa: Asalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh… Selamat datang kembali di Curhat Cinta Istana. Saya, Nisa Farha…
Reza: …dan saya, Reza Satria! Di episode lalu kita sudah bahas soal ‘kaget-kaget’ awal pernikahan ya, soal ekspektasi versus realita sehari-hari. Nah, Bu, hari ini kita mau masuk ke area yang… hmm, seringkali lebih rumit dari negosiasi perjanjian dagang antar negara nih, hehe.
Nisa: (Tertawa kecil) Bapak ini ada-ada saja. Tapi memang betul. Topik yang akan kita bahas ini sangat sensitif, penuh nuansa budaya, dan seringkali jadi sumber gesekan laten dalam pernikahan, bahkan bisa sampai merusak hubungan suami istri jika tidak ditangani dengan bijak. Kita akan bicara soal dinamika hubungan: Menantu dan Mertua.
Reza: Wah, siap-siap pasang sabuk pengaman nih pendengar! Hehe. Ini isu abadi sepertinya ya. Bagaimana caranya bisa tetap menghormati orang tua pasangan, tapi juga menjaga otonomi dan keharmonisan rumah tangga kita sendiri? Bagaimana kalau mertua terlalu ikut campur? Nah, ini pas banget dengan curahan hati dari 'Santi', 28 tahun, yang sudah 3 tahun menikah. Silakan, Bu Presiden, dibacakan.
(Suara Nisa membaca surel dengan nada simpatik dan penuh pemahaman)
Nisa (membaca): "Salam, Bu Nisa dan Pak Reza. Saya sudah menikah 3 tahun, punya satu anak balita. Masalah saya adalah dengan ibu mertua saya. Beliau sebenarnya baik, tapi sangat suka ikut campur urusan rumah tangga kami. Mulai dari cara saya masak ('Kok bumbunya nggak gini?'), menata rumah ('Ini lebih bagus ditaruh di sana deh'), sampai cara saya mengasuh anak ('Jangan digendong terus nanti bau tangan!', 'Harusnya makannya ini'), selalu ada saja kritiknya, meskipun mungkin maksudnya baik. Kalau datang ke rumah (yang cukup sering), beliau suka mengatur ulang barang-barang saya tanpa izin. Saya sudah coba bicara halus, tapi tidak mempan, malah dianggap menantu kurang ajar. Yang bikin saya tambah sedih dan stres, suami saya, 'Andi', sepertinya enggan atau tidak mau menegur ibunya. Dia selalu bilang 'Maklum saja, orang tua kan begitu' atau 'Sabar saja, nggak usah dimasukin hati'. Saya merasa tidak didukung, tidak dihargai di rumah saya sendiri, dan ini mulai membuat hubungan saya dan Andi jadi tegang. Saya harus bagaimana, Bu, Pak?"
(Hening sejenak, terdengar Reza menghela napas)
Reza: Santi… aduh, Mbak. Kami bisa membayangkan betapa tidak nyamannya situasi ini. Rasanya seperti jadi ‘tamu’ di rumah sendiri ya? Setiap gerak-gerik diawasi dan dikomentari. Apalagi kalau merasa tidak mendapat dukungan dari pasangan sendiri. Perasaanmu – sedih, stres, tidak dihargai, lelah – itu sangat valid dan bisa dimengerti. Menavigasi hubungan dengan mertua ini memang butuh seni tersendiri.
Nisa: Betul. Dan dalam seni menavigasi ini, ada satu 'nahkoda pembantu' yang perannya SUPER KRUSIAL, Santi. Yaitu: Suamimu, Andi. Dalam struktur keluarga, dialah ‘jembatan’ utama antara dirimu (istrinya) dan ibunya. Jika jembatan ini enggan berfungsi, atau bahkan miring ke satu sisi saja, arusnya pasti jadi keruh dan ombaknya bisa menghantam salah satu pihak – dalam hal ini, dirimu.
Reza: Tepat sekali! Langkah pertama dan paling fundamental yang perlu Santi lakukan adalah KOMUNIKASI JUJUR dan TERBUKA dengan Andi. Bukan saat sedang kesal atau setelah habis ‘diserang’ mertua ya, tapi cari waktu yang benar-benar tenang, saat kalian hanya berdua. Sampaikan perasaanmu dengan fokus pada dampak perilaku ibu mertua terhadap DIRIMU dan HUBUNGAN KALIAN BERDUA, bukan sekadar mengeluhkan atau menyalahkan ibunya.
Nisa: Contoh kalimatnya bisa seperti ini: "Mas Andi, aku mau bicara sebentar soal perasaanku ya. Aku tahu Ibu sayang sama kita dan maksudnya baik. Tapi jujur, aku sering merasa sedih/stres/tidak nyaman/tidak dihargai ketika Ibu terus menerus mengomentari cara masakku atau mengasuh anak kita. Aku merasa seperti aku tidak becus jadi istri dan ibu di rumah ini. Yang paling membuatku sedih, aku merasa sendirian menghadapinya. Aku sangat butuh dukunganmu, Mas. Aku butuh kita menjadi satu tim dalam hal ini, termasuk dalam menetapkan batasan yang sehat dengan Ibu."