Episode 2.4: "Kok Kamu Berubah?" - Saat Cinta Terasa Dianggap Biasa
(Suara jingle podcast bab 2 yang sama, hangat dan optimis, mungkin dengan melodi yang sedikit lebih reflektif di awal, lalu fade out)
Nisa: Asalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh… Apa kabar teman-teman Istana Hati? Semoga selalu dalam keadaan baik ya. Kembali lagi bersama saya, Nisa Farha…
Reza: …dan saya, Reza Satria! Di episode lalu kita sudah belajar soal 'bertengkar sehat' ya. Semoga ilmunya bermanfaat untuk menavigasi badai-badai kecil dalam pernikahan. Nah, Bu, hari ini kita mau bahas perasaan lain yang juga sering banget hinggap di hati para pasangan, terutama setelah melewati fase bulan madu yang penuh debaran itu.
Nisa: Perasaan apa itu, Pak?
Reza: Perasaan… "Kok dia nggak kayak dulu lagi ya?". Yang dulunya kalau kirim pesan dibalas secepat kilat, sekarang dibaca saja sudah syukur. Yang dulunya suka kasih kejutan kecil, sekarang ingat tanggal jadian saja sudah bagus. Yang dulunya panggilannya "Sayangku Cintaku Manisku", sekarang jadi "Eh, nitip garam dong!". Hehe. Intinya, perasaan merasa dianggap biasa saja atau taken for granted.
Nisa: (Tersenyum tipis) Ah iya… perasaan yang cukup universal sepertinya ya, Pak. Setelah euforia awal mereda, kadang rutinitas dan kenyamanan membuat kita (atau pasangan kita) tanpa sadar berhenti melakukan usaha-usaha kecil yang dulu membuat hubungan terasa spesial. Ini bisa menimbulkan rasa sedih, kecewa, bahkan keraguan akan rasa cinta pasangan.
Reza: Betul. Padahal seringkali bukan karena cintanya hilang lho, tapi karena apinya lupa disiram! Nah, perasaan inilah yang sedang dialami oleh sahabat kita, 'Rina', 30 tahun, yang sudah 2 tahun menikah. Mari kita simak kegelisahan hatinya. Silakan, Bu.
(Suara Nisa membaca surel dengan nada lembut dan penuh empati)
Nisa (membaca): "Ibu Nisa dan Pak Reza, saya pendengar setia. Saya menikah 2 tahun lalu dengan 'Toni'. Tahun pertama rasanya indah sekali, penuh perhatian, kejutan kecil, kata-kata manis setiap hari. Tapi beberapa bulan terakhir ini rasanya beda sekali. Toni sekarang sangat sibuk kerja, kalau di rumah lebih sering main gim atau nonton TV untuk melepas penat katanya. Kejutan kecil sudah tidak ada, pujian atau kata-kata manis jarang sekali terdengar. Saya merasa seperti... ya dianggap sudah ada saja, bukan lagi prioritas utamanya. Saya sedih dan mulai bertanya-tanya apa rasa sayangnya berkurang atau dia sudah bosan sama saya. Padahal saya sayang sekali sama dia dan berusaha jadi istri yang baik. Apa yang salah ya, Bu, Pak? Bagaimana cara mengembalikan perhatiannya seperti dulu?"
(Hening sejenak)
Reza: Rina… terima kasih sudah berbagi perasaanmu yang pasti tidak enak ini ya. Rasanya pasti nyelekit ya, dari yang tadinya merasa jadi ‘pusat dunia’ pasangan, sekarang jadi terasa seperti ‘pelengkap perabotan rumah tangga’ saja. Hehe, maaf ya Rina, ini cuma perumpamaan ekstrem. Tapi serius, perasaanmu itu valid dan wajar dirasakan.
Nisa: Betul. Penting untuk dipahami dulu, Rina, bahwa fase ‘bulan madu’ yang penuh euforia dan perhatian ekstra itu memang secara alami akan bertransisi ke ritme hubungan yang lebih stabil dan ‘normal’. Itu wajar sekali. Tidak mungkin kan kita mengharapkan pasangan membawakan bunga setiap hari atau mengirim puisi cinta tiga kali sehari selamanya? Hehe. Tapi… transisi ke fase stabil ini BUKAN berarti usaha untuk menyenangkan pasangan, perhatian kecil, keromantisan, atau apresiasi harus hilang sama sekali.
Reza: Nah, ini kuncinya! Cinta itu sering diibaratkan seperti tanaman, Rina. Kalau mau tetap hidup, subur, dan berbunga indah, ya harus dirawat setiap hari. Disiram, dipupuk, disiangi dari hama. Nggak bisa dibiarkan tumbuh liar begitu saja mengharapkan hasilnya bagus terus. Perawatan ini butuh USAHA SADAR dari KEDUA BELAH PIHAK, setiap hari, meskipun hanya sedikit.