Episode 2.6: Ekspektasi vs. Realita (Lagi!) - Perangkap Standar 'Sempurna'
(Suara jingle podcast bab 2 yang sama, hangat dan optimis, mungkin dengan intro musik yang sedikit lebih ceria, tetapi juga reflektif, lalu fade out)
Nisa: Asalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh… Selamat datang kembali di Curhat Cinta Istana, teman-teman. Sedikit kejutan, kita kembali lagi sejenak ke Bab 2: Gerbang Pernikahan dan Realita Awal. Saya, Nisa Farha…
Reza: …dan saya, Reza Satria! Betul, Bu. Setelah kita diskusi kemarin, rasanya ada satu aspek penting dari tema ‘Ekspektasi vs Realita’ di awal pernikahan yang perlu kita dalami lagi nih, sebelum kita lanjut ke babak kehidupan berikutnya. Kalau di episode 2.1 kita bahas soal kagetnya hadapi realita praktis (tugas rumah, kebiasaan, uang), hari ini kita mau bahas ekspektasi yang sumbernya lebih dari dalam.
Nisa: Tepat sekali. Yaitu standar-standar internal yang seringkali kita tetapkan untuk diri kita sendiri sebagai seorang suami atau istri. Standar tentang bagaimana seharusnya kita bersikap, apa saja yang harus bisa kita lakukan, bagaimana rumah tangga ‘ideal’ itu terlihat. Dan standar ini… seringkali tanpa sadar terbentuk bukan dari diskusi dengan pasangan, tapi dari apa yang kita lihat di luar – di media sosial, di film, atau bahkan dari membandingkan diri dengan teman atau keluarga lain.
Reza: Nah, standar internal yang ketinggian atau tidak realistis inilah yang sering jadi ‘perangkap’, Bu. Bikin kita merasa selalu kurang, selalu gagal, meskipun mungkin pasangan kita sebenarnya baik-baik saja dan tidak menuntut macam-macam. Akhirnya kita jadi lelah sendiri, stres sendiri, dan nggak bisa menikmati pernikahan yang mungkin sebenarnya sudah cukup baik.
Nisa: Persis seperti yang mungkin dirasakan oleh banyak pendengar kita, dan tergambar dalam situasi 'Siska' (31 tahun) yang pernah kita bahas sekilas di Bab sebelumnya. Mari kita angkat lagi situasinya sebagai gambaran. Siska ini merasa gagal sebagai istri dan sering lelah luar biasa karena merasa tidak bisa memenuhi standar 'istri idaman' yang ia lihat pada orang lain: rumah harus selalu rapi jali, masakan harus selalu enak dan bervariasi, sambil tetap harus sukses meniti karier, dan mungkin juga harus selalu tampil sempurna. Padahal, suaminya sendiri mungkin tidak pernah menuntut semua itu. Tapi Siska menetapkan standar itu untuk dirinya sendiri dan merasa terbebani olehnya.
(Hening sejenak)
Reza: Siska, dan semua teman Istana Hati yang mungkin merasakan hal serupa… peluk virtual dulu! Perasaan tertekan oleh standar ‘sempurna’ itu nyata sekali, apalagi di zaman sekarang di mana media sosial seolah terus menerus mempertontonkan kehidupan orang lain yang (kelihatannya) tanpa cela. Rasanya seperti kita dituntut jadi superwoman atau superman yang harus bisa melakukan semuanya dengan sempurna ya?
Nisa: Betul. Dan langkah pertama untuk keluar dari perangkap ini adalah menyadari dan menantang standar ideal yang membebani kita itu. Coba deh, Siska (dan teman-teman), tanyakan pada diri sendiri dengan jujur:
Standar siapa ini sebenarnya? Apakah ini benar-benar standarmu sendiri, atau standar yang kamu adopsi dari Instagram, dari ibumu, dari temanmu?Apakah standar ini REALISTIS untuk kondisimu saat ini (dengan segala kesibukan, keterbatasan energi, dan sumber daya yang kamu miliki)?Apakah mengejar standar ini benar-benar membuatmu BAHAGIA, atau justru membuatmu STRES, LELAH, dan MERASA TIDAK PERNAH CUKUP? Jawab pertanyaan ini dengan jujur.
Reza: Dan ingat selalu, teman-teman: Apa yang kita lihat di media sosial itu seringkali hanya ‘panggung depan’ atau highlight reel. Kita tidak pernah tahu apa yang terjadi di ‘dapur’ atau behind the scenes-nya. Temanmu yang rumahnya selalu rapi itu, mungkin dia punya ART yang datang setiap hari. Tetanggamu yang selalu masak menu lengkap itu, mungkin dia mengorbankan waktu tidurnya atau hobinya. Pasangan yang terlihat mesra terus di foto itu, mungkin di belakang layar mereka juga sering bertengkar hebat. Jangan pernah membandingkan ‘dapur berantakanmu’ dengan ‘etalase kinclong’ orang lain. Itu tidak adil untuk dirimu sendiri!
Nisa: Fokuslah pada mengelola ekspektasi terhadap DIRIMU SENDIRI. Beri dirimu izin untuk tidak sempurna. Sangat boleh kok rumah berantakan sesekali karena kamu kelelahan. Sangat boleh kok pesan makanan dari luar saat tidak sempat masak. Sangat boleh kok merasa kewalahan dan butuh istirahat. Kamu manusia biasa, bukan robot super. Coba ganti target ‘sempurna’ menjadi ‘cukup baik’ (good enough). Rayakan pencapaian-pencapaian kecilmu dalam menjalani peranmu, sekecil apapun itu. Dan yang terpenting: Prioritaskan kesehatan mental dan fisikmu di atas tuntutan standar ideal yang tidak realistis itu. Saya pun, dengan ekspektasi publik yang begitu tinggi pada peran saya, harus belajar keras soal ini. Belajar untuk tetap berpijak pada realitas kapasitas saya sebagai manusia biasa dan mempraktikkan self-compassion atau berbaik hati pada diri sendiri saat melakukan kesalahan atau tidak memenuhi harapan.