Curhat Cinta Istana

Shabrina Farha Nisa
Chapter #14

Penuh Respek

Episode 3.1: Lebih dari Teman Sekamar - Menyalakan Kembali Api yang Meredup

(Suara jingle podcast yang baru untuk bab 3, mungkin dengan melodi yang lebih tenang, dewasa, dan sedikit reflektif, tetapi tetap hangat, fade out)

Nisa: Asalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh… Selamat datang kembali di Curhat Cinta Istana, teman-teman. Senang sekali rasanya kita bisa melanjutkan perjalanan ini ke Babak Ketiga. Saya, Nisa Farha…

Reza: …dan saya, Reza Satria! Di Bab 2 kemarin kita sudah mengarungi serunya fase awal pernikahan ya, Bu. Dari kaget-kaget adaptasi sampai belajar menavigasi konflik dan karier. Nah, sekarang kita naik level nih! Kita masuk ke fase di mana pernikahan sudah berjalan cukup lama, mungkin belasan atau puluhan tahun.

Nisa: Betul, Pak. Fase di mana ombak-ombak besar awal mungkin sudah berhasil dilalui, anak-anak mungkin sudah mulai besar, karier sudah lebih mapan. Tapi… justru di tengah ‘ketenangan’ inilah sering muncul tantangan baru yang tak kalah pelik. Salah satunya adalah ketika pasangan merasa hubungan mereka menjadi… hmm, terlalu adem ayem?

Reza: Adem ayem tapi hambar ya, Bu? Hehe. Ketika suami istri merasa lebih seperti teman baik yang berbagi atap dan tagihan, atau tim manajemen rumah tangga yang efisien, tapi percikan cinta dan gairah sebagai pasangan kekasihnya mulai meredup, bahkan mungkin padam. Merasa lebih seperti roommate daripada soulmate.

Nisa: Istilahnya roommate syndrome. Ini adalah fenomena yang sangat umum terjadi dalam pernikahan jangka panjang, teman-teman. Kesibukan, stres pekerjaan, fokus pada anak, rutinitas yang monoton, semua itu bisa tanpa sadar mengikis keintiman emosional dan fisik pelan-pelan, sampai kita baru sadar ketika rasanya sudah hambar. Dan ini akan kita bahas tuntas hari ini, berbekal curahan hati dari sahabat kita, 'Indah', 45 tahun, yang sudah 20 tahun menikah. Silakan, Pak.

(Suara Reza membaca surel dengan nada lembut dan penuh pemahaman)

Reza (membaca): "Ibu Nisa, Pak Reza, pernikahan saya dan suami, 'Budi', sudah berjalan 20 tahun. Anak-anak kami sudah remaja. Secara umum, rumah tangga kami baik-baik saja, tidak ada konflik besar, finansial stabil. Tapi justru itu masalahnya, Bu, Pak. Rasanya kami seperti teman baik yang berbagi rumah saja. Obrolan kami sehari-hari hanya seputar jadwal anak, pekerjaan Budi, atau tagihan listrik. Sentuhan fisik sangat jarang, sekadar pegangan tangan atau pelukan hampir tidak pernah. Hubungan intim mungkin hanya sebulan sekali atau bahkan kurang, dan terus terang rasanya lebih seperti 'kewajiban' atau rutinitas saja, tidak ada lagi gairah atau koneksi mendalam seperti dulu. Kadang kami menghindarinya karena rasanya canggung. Saya merasa ada sesuatu yang penting yang hilang di antara kami, tapi saya bingung bagaimana cara membicarakannya atau memulainya lagi tanpa terdengar aneh atau menuntut setelah sekian lama 'adem ayem' begini. Apa ini wajar di usia pernikahan kami? Bisakah diperbaiki?"

(Hening sejenak)

Nisa: Indah… terima kasih sudah berbagi kejujuran yang pasti tidak mudah ini ya. Perasaanmu itu – merasa seperti teman sekamar, merindukan kedekatan, tapi juga merasa canggung atau bingung bagaimana memulainya lagi – percayalah, dialami oleh sangat banyak pasangan yang sudah lama bersama. Ini bukan berarti pernikahanmu gagal atau rasa cinta kalian hilang. Seringkali ini adalah akibat dari ‘erosi’ perlahan yang disebabkan oleh rutinitas dan kesibukan hidup. Jadi, ya, ini wajar terjadi, tapi bukan berarti harus diterima begitu saja.

Reza: Kabar baiknya, Indah, ini sangat bisa diperbaiki! Asalkan… nah ini kuncinya, asalkan kedua belah pihak (kamu dan Budi) sama-sama menyadari ada yang ‘hilang’ dan sama-sama mau berkomitmen untuk berusaha menyalakannya kembali. Ini tidak bisa hanya dari satu pihak. Ibarat api unggun yang mulai padam, perlu ditambah kayu bakar dan dikipasi lagi oleh berdua agar bisa menyala hangat kembali.

Nisa: Dan usaha ini harus disengaja, Indah. Tidak bisa hanya mengandalkan sisa-sisa waktu atau energi setelah seharian bekerja dan mengurus rumah. Keintiman, baik emosional maupun fisik, itu perlu diprioritaskan dan dijadwalkan, sama pentingnya seperti jadwal rapat di kantor atau jadwal antar jemput anak. Mungkin terdengar tidak romantis ya, menjadwalkan keintiman? Tapi percayalah, di tengah kesibukan hidup, jika tidak dijadwalkan, seringkali ia akan terlupakan.

Reza: Lalu, mulai dari mana? Mungkin langkah pertamanya bukan langsung ke urusan ranjang ya, karena seringkali api fisik itu padam akibat api emosionalnya yang sudah redup duluan. Coba mulai dari membangun kembali jembatan koneksi emosional.

Lihat selengkapnya