Curhat Cinta Istana

Shabrina Farha Nisa
Chapter #16

Anak-anak Menjadi Bingung

Episode 3.3: Beda Gaya Mendidik Anak - Saat Ayah Bilang 'Ya', Ibu Bilang 'Tidak'

(Suara jingle podcast bab 3 yang sama, tenang, dewasa, dan reflektif, mungkin dengan sedikit sound effect tawa anak-anak di awal, lalu fade out)

Nisa: Asalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh… Selamat datang kembali di Curhat Cinta Istana. Tempat kita berbagi cerita, belajar bersama, dan tumbuh bersama. Saya, Nisa Farha…

Reza: …dan saya, Reza Satria! Di episode lalu kita sudah ngobrolin soal ‘badai’ paruh baya ya, Bu. Bagaimana mendampingi pasangan yang sedang gelisah mencari makna. Nah, hari ini kita mau bahas ‘medan pertempuran’ lain yang seringkali jadi sumber konflik paling sengit, paling emosional, dan paling sering berulang dalam rumah tangga yang sudah punya anak!

Nisa: (Tersenyum penuh arti) Betul sekali, Pak. Area yang penuh cinta dan niat baik, tapi juga penuh potensi perbedaan pendapat yang tajam. Kita akan bicara soal: Perbedaan Gaya Mendidik Anak antara Ayah dan Ibu. Saat Ayah bilang ‘boleh’, Ibu bilang ‘tidak’. Saat Ibu menerapkan aturan tegas, Ayah malah ‘kasihan’. Familiar sekali ya kedengarannya?

Reza: Wah, ini pasti banyak banget yang relate nih! Hehe. Dinamika ‘polisi baik’ dan ‘polisi jahat’ dalam pengasuhan ini seringkali muncul tanpa disadari dan bisa bikin pusing tujuh keliling. Nggak cuma bikin orang tua stres dan sering cekcok, tapi juga bisa bikin anak bingung dan nggak baik untuk perkembangan karakternya.

Nisa: Tepat. Karena itu, penting sekali bagi kita sebagai orang tua untuk belajar menyelaraskan visi dan langkah dalam mendidik amanah terindah kita ini. Mari kita dengarkan curahan hati dari sahabat kita, 'Wati', 35 tahun, ibu dari dua anak usia SD, yang sedang berada di tengah ‘pertempuran’ ini. Silakan, Bu Wati… eh, maksud saya, silakan saya bacakan curahan hati Bu Wati. Hehe.

(Suara Nisa membaca surel dengan nada simpatik dan penuh pemahaman)

Nisa (membaca): "Bu Nisa dan Pak Reza, saya dan suami saya, 'Hadi', sering sekali berdebat soal cara mendidik anak-anak kami yang usia 8 dan 6 tahun. Misalnya soal disiplin, saya cenderung lebih tegas. Kalau mereka melanggar aturan, saya terapkan konsekuensi yang jelas, misalnya pengurangan waktu main atau tidak boleh nonton TV. Sementara suami saya, Hadi, lebih permisif dan mudah sekali 'kasihan'. Seringkali dia malah membatalkan 'hukuman' dari saya diam-diam atau membela anak-anak di depan saya. Soal waktu main gawai juga begitu, saya ingin membatasi maksimal 1 jam sehari, Hadi sering membiarkan saja asal anak-anak tenang dan tidak mengganggunya bekerja. Akibatnya, anak-anak jadi bingung mana aturan yang sebenarnya berlaku, dan sekarang mereka pintar sekali, kalau saya sedang marah atau menerapkan aturan, mereka langsung lari 'berlindung' ke ayah mereka. Ini membuat saya sangat frustrasi, merasa sendirian dalam mendidik, dan merasa otoritas saya sebagai ibu dilemahkan. Kami jadi sering cekcok karena masalah ini hampir setiap hari. Bagaimana ya solusinya, Bu, Pak?"

(Hening sejenak)

Reza: Wati… aduh, Bu. Rasanya pasti lelah sekali ya berada di posisi itu. Sudah capek mengurus anak, ditambah harus ‘berperang’ dengan pasangan sendiri soal cara mendidiknya. Perasaan frustrasi, merasa sendirian, dan merasa dilemahkan itu sangat bisa kami pahami. Dan dinamika anak yang pintar ‘cari celah’ ke orang tua yang lebih longgar itu memang klasik tapi nyata.

Nisa: Betul. Tapi sebelum kita bicara solusi, langkah pertama yang penting adalah mencoba memahami dulu akar perbedaan gaya asuh antara Wati dan Hadi. Seringkali, perbedaan ini bukan karena salah satu tidak peduli atau sengaja ingin merusak aturan, tapi karena latar belakang pengasuhan mereka sendiri saat kecil, nilai-nilai yang mereka yakini, atau bahkan temperamen bawaan mereka yang berbeda. Mungkin Hadi dibesarkan dengan cara yang sangat keras sehingga dia tidak ingin anaknya merasakan hal yang sama? Atau mungkin Wati dibesarkan dengan disiplin tinggi dan merasa itu cara terbaik? Coba pahami dulu alasan di balik gaya asuh pasangan, bukan langsung menghakimi ‘kamu terlalu lembek!’ atau ‘kamu terlalu keras!’. Niat kalian berdua pasti sama: menginginkan yang terbaik untuk anak-anak.

Reza: Nah, setelah ada usaha saling memahami (meskipun mungkin belum langsung setuju), langkah berikutnya yang mutlak diperlukan adalah: DUDUK BERDUA SECARA KHUSUS – tanpa kehadiran anak-anak ya! – untuk MENYUSUN KESEPAKATAN BERSAMA soal prinsip-prinsip dasar dan aturan main dalam pengasuhan. Tidak harus sama persis 100% dalam segala hal kecil, tapi untuk isu-isu penting dan sering jadi sumber konflik seperti:

Aturan soal disiplin dan konsekuensi (Apa saja yang boleh/tidak boleh? Apa konsekuensi jika melanggar? Siapa yang menegakkan?)Aturan soal waktu layar/gawai (Berapa lama? Kapan saja? Konten apa?)Aturan soal jam tidur, jam makan, jenis makanan.Nilai-nilai utama yang ingin kalian tanamkan (Kejujuran? Tanggung jawab? Empati? Kemandirian?). Diskusikan ini baik-baik, cari kompromi atau titik tengah yang bisa kalian berdua sepakati dan jalankan bersama.

Lihat selengkapnya