Curhat Cinta Istana

Shabrina Farha Nisa
Chapter #17

Memberi Kekuatan

Episode 3.4: Beban Generasi Sandwich - Terjepit di antara Anak dan Orang Tua

(Suara jingle podcast bab 3 yang sama, tenang, dewasa, dan reflektif, mungkin dengan intro musik yang sedikit lebih berempati dan menyentuh, lalu fade out)

Reza: Selamat datang kembali di Curhat Cinta Istana, teman-teman. Tempat kita berbagi beban dan mencari solusi bersama. Saya, Reza Satria…

Nisa: …dan saya, Nisa Farha. Di episode sebelumnya kita sudah membahas soal pentingnya menjadi tim yang solid saat mendidik anak ya, Pak. Menyatukan visi dan langkah. Nah, hari ini kita akan membahas peran lain yang juga diemban oleh banyak orang tua, terutama di usia paruh baya, yang tekanannya luar biasa berat.

Reza: Betul, Bu. Peran sebagai Generasi Sandwich. Istilah ini merujuk pada mereka yang 'terjepit' di tengah – di satu sisi masih harus mengurus anak-anak yang beranjak remaja atau dewasa muda dengan segala kebutuhannya, sementara di sisi lain juga harus merawat orang tua yang sudah lanjut usia dan mungkin mulai membutuhkan perhatian atau bantuan ekstra karena kondisi kesehatan. Rasanya seperti roti lapis ya, ditekan dari atas dan bawah!

Nisa: (Tersenyum getir) Perumpamaan yang sangat pas, Pak. Ini adalah realitas yang dihadapi oleh semakin banyak orang di zaman sekarang, seiring dengan meningkatnya harapan hidup dan perubahan struktur keluarga. Bebannya bisa sangat luar biasa, tidak hanya fisik dan finansial, tapi juga emosional. Rasa lelah, bersalah, cemas, dan merasa ditarik ke berbagai arah itu sangat umum dirasakan.

Reza: Dan jika tidak dikelola dengan baik, tekanan ini bisa berdampak serius pada kesehatan diri sendiri, hubungan dengan pasangan, hubungan dengan anak, bahkan karier. Nah, kita menerima curahan hati yang sangat mewakili perasaan ini, dari sahabat kita, sebut saja namanya 'Mira', usianya awal 40-an.

(Suara Reza membaca surel dengan nada penuh empati dan sedikit lelah)

Reza (membaca): "Ibu Nisa dan Pak Reza, saya rasanya sudah di ujung batas kesabaran dan energi. Saya berusia 42 tahun, bekerja penuh waktu, punya dua anak remaja (16 dan 14 tahun) yang sedang butuh banyak perhatian soal sekolah, pergaulan, dan emosi mereka yang naik turun. Sejak ayah saya meninggal dua tahun lalu, ibu saya tinggal sendirian dan kesehatannya mulai menurun. Beliau tidak mau pindah ke rumah saya, jadi saya harus bolak-balik mengurus keperluannya hampir setiap hari sepulang kerja – antar ke dokter, belanja, memastikan beliau makan, atau sekadar menemani agar tidak kesepian. Saya anak tunggal, jadi tidak ada saudara yang bisa berbagi tugas. Akibatnya, waktu dan energi saya habis terkuras. Saya sering marah-marah ke anak-anak karena hal sepele, waktu berkualitas dengan suami hampir tidak ada karena saya sudah terlalu lelah, pekerjaan di kantor juga mulai keteteran. Saya merasa gagal di semua peran – sebagai anak, sebagai ibu, sebagai istri, sebagai pekerja. Rasa bersalah ini menghantui saya terus menerus. Saya lelah sekali, Bu, Pak. Bagaimana caranya saya bisa bertahan tanpa 'meledak' atau mengorbankan salah satu pihak?"

(Hening sejenak, terdengar Nisa menghela napas dalam)

Nisa: Mira… ya Allah, Bu. Peluk erat sekali dari kami. Membaca ceritamu saja sudah terasa betapa beratnya beban yang kamu pikul setiap hari. Perasaan lelah, bersalah, merasa gagal, merasa ditarik-tarik – itu bukan berlebihan, itu SANGAT NORMAL dan SANGAT BISA DIPAHAMI dalam situasimu. Kamu sedang memainkan peran yang luar biasa banyak dan berat secara bersamaan. Kamu tidak sendirian dalam merasakan ini; jutaan orang di luar sana, terutama perempuan, sedang berada di posisi terjepit yang sama.

Reza: Betul. Ini bukan soal kurang bersyukur atau kurang kuat, Mira. Ini soal keterbatasan sumber daya – waktu kita hanya 24 jam sehari, energi kita ada batasnya, perhatian kita tidak bisa terbagi ke banyak titik secara maksimal terus menerus. Berada di posisi generasi sandwich itu seperti melakukan juggling dengan bola-bola yang sangat penting dan rapuh, sementara lantainya licin. Sangat rentan jatuh dan ‘pecah’.

Nisa: Lalu, bagaimana caranya agar tidak ‘pecah’? Langkah pertama dan paling fundamental, yang seringkali paling sulit dilakukan oleh para perawat (caregiver) seperti Mira: Prioritaskan Perawatan Dirimu Sendiri (Self-Care). Ingat analogi masker oksigen di pesawat? Kita harus memakai masker kita dulu sebelum menolong orang lain. Kamu tidak bisa menuang dari cangkir yang kosong, Mira. Jika kamu terus menerus menguras dirimu tanpa mengisi ulang, kamu akan burnout, sakit, atau bahkan jatuh ke dalam depresi. Dan jika itu terjadi, kamu justru tidak akan bisa merawat siapapun.

Lihat selengkapnya