Episode 4.2: Seni Mengikhlaskan - Melepaskan yang Memang Harus Pergi
(Suara jingle podcast bab 4 yang sama, tenang, introspektif, dengan melodi yang lembut dan memberi nuansa pelepasan, lalu fade out)
Reza: Selamat datang kembali di Curhat Cinta Istana, teman-teman Istana Hati. Di episode perdana Bab 4 kemarin, kita sudah mulai mencoba ‘membongkar ransel’ luka lama ya, Bu. Khususnya soal bagaimana trauma masa lalu bisa mempengaruhi kepercayaan kita di hubungan saat ini. Saya Reza Satria…
Nisa: …dan saya Nisa Farha. Membongkar luka lama itu memang langkah awal yang penting untuk penyembuhan. Tapi seringkali, setelah luka itu terbuka, ada proses lain yang tak kalah sulit namun sangat diperlukan untuk bisa benar-benar melangkah maju dengan ringan. Yaitu proses melepaskan. Melepaskan kemarahan, melepaskan kekecewaan, melepaskan kenangan, melepaskan seseorang atau sesuatu yang pernah begitu berarti namun memang sudah tidak bisa lagi menjadi bagian dari masa kini dan masa depan kita.
Reza: Ah, the art of letting go. Seni mengikhlaskan. Gampang diucapkan, tapi praktiknya bisa terasa seperti mencabut separuh jiwa ya, Bu? Terutama ketika kita harus melepaskan sebuah hubungan cinta yang sudah berjalan lama dan begitu membekas. Rasanya mustahil, rasanya dunia runtuh.
Nisa: Betul. Rasa sakit kehilangan itu nyata dan dalam. Dan hari ini, kita akan mencoba menyelami proses yang sulit ini, mencoba memahami bagaimana kita bisa pelan-pelan belajar mengikhlaskan, agar hati kita bisa menemukan kedamaian kembali. Kita akan belajar dari curahan hati sahabat kita, 'Linda', 27 tahun, yang sedang berada di tengah pergulatan ini. Silakan, Bu Linda… eh, saya lagi ya. Maaf, saking terhanyutnya. Hehe.
(Suara Nisa membaca surel dengan nada penuh empati dan kelembutan)
Nisa (membaca): "Ibu Nisa, Pak Reza... saya baru saja putus dari hubungan yang sudah berjalan 5 tahun. Rasanya separuh hidup saya hilang. Semua tempat yang pernah kami datangi, semua lagu yang pernah kami dengarkan, semua hal kecil sehari-hari rasanya mengingatkan saya padanya. Saya tahu logikanya saya harus move on, teman-teman juga bilang begitu. Tapi rasanya berat sekali, Bu, Pak. Setiap hari saya masih sering menangis tiba-tiba, tanpa sadar buka profil media sosialnya - meski itu bikin tambah sakit - dan kepala saya terus menerus bertanya-tanya 'kenapa harus berakhir begini?', 'apa salah saya?', 'andai saja dulu ....' Bagaimana caranya saya bisa benar-benar ikhlas dan melepaskan dia ya, Bu, Pak? Rasanya tidak mungkin bisa melupakannya."
(Hening sejenak, terdengar Reza menghela napas pelan)
Reza: Linda… terima kasih sudah berbagi rasa sakitmu yang begitu mendalam ini ya. Lima tahun itu bukan waktu yang sebentar. Wajar sekali jika rasanya seperti ada bagian besar dari dirimu yang tercabut dan hilang arah. Perasaan bahwa mustahil untuk melupakan atau melepaskan itu sangat umum dirasakan saat kita sedang berada di puncak kedukaan. Kami ikut merasakan kepedihanmu.
Nisa: Tapi dengarkan kami baik-baik, Linda. Mengikhlaskan itu BUKAN berarti melupakan. Kenangan indah yang pernah kalian rajut bersama, rasa sayang yang pernah ada, itu adalah bagian dari sejarah hidupmu yang berharga, tidak perlu dihapus. Mengikhlaskan juga BUKAN berarti kamu tidak boleh sedih atau harus pura-pura kuat seketika. Justru sebaliknya…
Reza: Langkah pertama dalam seni mengikhlaskan adalah MENGIZINKAN DIRI UNTUK BERDUKA. Beri ruang untuk semua perasaan yang muncul itu, Linda. Mau menangis sampai mata bengkak? Silakan. Merasa marah pada keadaan atau pada mantanmu? Boleh (asal jangan destruktif ya, jangan sampai merusak diri atau barang!). Merasa kecewa? Merasa kehilangan? Akui dan rasakan semua itu. Jangan ditekan atau diabaikan dengan dalih ‘harus kuat’. Memproses duka ini adalah fondasi penting sebelum bisa melepaskan.
Nisa: Tapi… penting juga untuk memberi batas waktu yang sehat pada fase duka yang sangat intens ini. Jangan biarkan dirimu terlarut dalam kesedihan tanpa akhir, sampai mengabaikan kesehatanmu, pekerjaanmu, atau orang-orang lain yang menyayangimu. Setelah beberapa waktu memberi ruang untuk menangis dan marah, pelan-pelan coba katakan pada diri sendiri, “Oke, aku sudah memberi ruang untuk rasa sakit ini, sekarang saatnya aku mulai mencoba bangkit, selangkah demi selangkah.”
Reza: Langkah berikutnya setelah memberi ruang untuk duka adalah mencoba bergerak menuju PENERIMAAN (Acceptance). Menerima kenyataan, sepahit apapun itu, bahwa hubungan ini memang sudah berakhir. Terus menerus bertanya ‘kenapa berakhir?’ atau berandai-andai ‘andai saja dulu aku begini atau begitu…’ seringkali tidak akan mengubah keadaan. Itu hanya akan membuatmu terjebak di labirin masa lalu yang menyakitkan. Fokus pada apa yang bisa kamu kendalikan SEKARANG: yaitu dirimu sendiri, perasaanmu saat ini, dan bagaimana kamu memilih untuk merespons situasi ini ke depan.