Episode 5.1: Bahagiaku, Tanggung Jawabku - Kunci di Tangan Sendiri
(Suara jingle podcast yang baru untuk bab 5, mungkin dengan melodi yang cerah, optimis, dan memberi semangat pertumbuhan, lalu fade out)
Nisa: Asalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh… Selamat datang kembali, teman-teman Istana Hati, di Babak Kelima sekaligus Babak Terakhir dari perjalanan kita di Curhat Cinta Istana. Saya, Nisa Farha…
Reza: …dan saya, Reza Satria! Wah, nggak terasa ya, Bu, kita sudah sampai di bab terakhir. Di bab 4 kemarin kita sudah menyelami dalamnya proses penyembuhan luka dan melepaskan beban masa lalu. Semoga hati kita semua jadi lebih ringan ya sekarang.
Nisa: Amin. Nah, setelah kita berdamai dengan masa lalu dan membangun kembali fondasi diri, di bab 5 ini kita akan fokus pada langkah selanjutnya: yaitu bagaimana cara proaktif merawat kebahagiaan kita sendiri dan terus bertumbuh menjadi versi terbaik diri kita, baik sebagai individu maupun bersama pasangan. Kita tidak hanya ingin survive dalam hidup dan hubungan, tapi juga thrive atau bertumbuh subur!
Reza: Setuju! Dan untuk memulai bab 5 ini, kita akan bahas satu prinsip fundamental yang seringkali disalahpahami dalam hubungan, yaitu soal kebahagiaan. Banyak yang berpikir, “Tugas pasangankulah untuk membuatku bahagia,” atau sebaliknya, merasa bertanggung jawab penuh untuk ‘membahagiakan’ pasangan. Padahal… benarkah begitu?
Nisa: Pertanyaan yang bagus sekali, Pak. Dan ini penting sekali untuk diluruskan. Karena menggantungkan kunci kebahagiaan kita di leher orang lain, atau merasa kita memegang kunci kebahagiaan orang lain, itu bisa jadi resep menuju hubungan yang tidak sehat atau bahkan penuh kekecewaan. Prinsipnya adalah: Bahagiaku, Tanggung Jawabku. Mari kita bahas lebih dalam, terinspirasi dari curahan hati sahabat kita, 'Anton', 34 tahun. Silakan, Pak Reza.
(Suara Reza membaca surel dengan nada prihatin, tetapi suportif)
Reza (membaca): "Pak Reza, Bu Nisa, saya merasa buntu dan gagal sebagai suami. Istri saya, 'Mirna', sudah beberapa bulan ini sering sekali terlihat murung, kurang bersemangat, mudah mengeluh tentang banyak hal, dan sepertinya tidak bahagia. Saya sudah mencoba segalanya untuk membuatnya ceria lagi: saya ajak liburan singkat (dia bilang capek), saya belikan tas yang dia suka (dipakai sekali dua kali saja), saya coba lebih banyak membantu pekerjaan rumah (tapi dia masih saja cemberut). Rasanya tidak ada yang berhasil membuatnya tersenyum tulus lagi. Saya jadi ikut sedih melihatnya begitu, frustrasi karena usaha saya sia-sia, dan terus terang, merasa gagal sebagai suami karena tidak bisa membuatnya bahagia seperti dulu. Apa lagi ya yang harus saya lakukan? Saya bingung."
(Hening sejenak)
Nisa: Anton… pertama-tama, kami ingin sekali mengapresiasi niat baikmu yang begitu tulus dan usahamu yang begitu besar untuk melihat istrimu, Mirna, bisa kembali ceria dan bahagia. Itu menunjukkan betapa besar kepedulian dan cintamu padanya. Itu adalah sikap suami yang sangat baik. TAPI… ada satu pemahaman mendasar yang perlu kita luruskan bersama di sini, Anton: Kamu TIDAK BISA membuat Mirna bahagia, dan kebahagiaannya BUKANLAH tanggung jawabmu sepenuhnya.
Reza: Ini mungkin terdengar agak keras atau dingin ya, tapi ini penting sekali untuk dipahami demi kesehatan dirimu sendiri dan juga hubunganmu jangka panjang. Kebahagiaan itu adalah kondisi internal yang sumber utamanya berasal dari dalam diri masing-masing individu – dari cara pandangnya, dari rasa syukurnya, dari kedamaian hatinya, dari pilihan-pilihannya. Kamu bisa menciptakan kondisi yang mendukung kebahagiaan Mirna, kamu bisa menjadi mitra yang suportif dan penuh kasih, kamu bisa menawarkan bantuan dan telinga untuk mendengar. Tapi kamu tidak bisa MEMAKSA atau MENGONTROL perasaan bahagia itu muncul dalam diri Mirna.
Nisa: Jika kamu terus menerus mencoba ‘memperbaiki’ suasana hati Mirna atau ‘membahagiakannya’ dengan caramu, sementara dia sendiri mungkin sedang bergulat dengan masalah internal lain yang belum terselesaikan, atau mungkin punya cara pandang yang berbeda soal kebahagiaan, kamu hanya akan berakhir lelah, frustrasi, dan merasa gagal seperti yang kamu rasakan sekarang. Dan ini bisa memicu resentment atau kekesalan terpendam dalam dirimu terhadap Mirna, yang justru akan semakin merusak hubungan.