Curhat Cinta Istana

Shabrina Farha Nisa
Chapter #26

Saling Mendukung Kebutuhan

Episode 5.3: Aku Tetap Aku, Kamu Tetap Kamu - tapi Kita Tetap “Kita”

(Suara jingle podcast bab 5 yang sama, cerah, optimis, dan memberi semangat pertumbuhan, mungkin dengan beat yang sedikit lebih independen, lalu fade out)

Nisa: Asalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh… Selamat datang kembali di Curhat Cinta Istana, teman-teman. Tempat kita belajar mencintai dengan lebih utuh. Saya, Nisa Farha…

Reza: …dan saya, Reza Satria! Di episode lalu kita sudah sepakat ya, Bu, bahwa hubungan yang hebat itu saling memberi sayap, saling mendukung pasangan untuk tumbuh menjadi versi terbaik dirinya. Nah, hari ini kita mau bahas sisi lain dari koin yang sama nih.

Nisa: Sisi lain yang mana itu, Pak?

Reza: Kalau kemarin kita bicara soal mendukung pertumbuhan pasangan, hari ini kita bicara soal pentingnya menjaga pertumbuhan dan identitas DIRI SENDIRI di dalam sebuah hubungan. Bagaimana caranya agar saat kita sudah menjadi ‘kita’ (sebagai pasangan), ‘aku’-nya kita dan ‘kamu’-nya pasangan itu tidak hilang atau lebur begitu saja? Bagaimana menjaga keseimbangan antara kebersamaan yang mesra dengan ruang untuk tetap menjadi individu yang punya dunia sendiri?

Nisa: Ah, pertanyaan yang sangat penting! Karena seringkali ada anggapan romantis yang keliru bahwa cinta sejati itu berarti dua jiwa melebur menjadi satu, melupakan diri sendiri demi pasangan. Padahal, hubungan yang sehat dan berkelanjutan justru membutuhkan dua individu yang utuh, yang masing-masing punya minat, hobi, lingkaran pertemanan, dan ruang pribadi, yang kemudian memilih untuk berjalan beriringan dan membangun dunia bersama. Kehilangan diri sendiri demi cinta justru bisa jadi bumerang.

Reza: Betul! Bisa bikin jenuh, bisa bikin resentment, bisa bikin salah satu pihak merasa terkekang. Nah, dilema soal menjaga ‘aku’ di tengah ‘kita’ inilah yang sedang dialami oleh sahabat kita, 'Gilang', 29 tahun, yang baru setahun menikah. Silakan, Bu Presiden, dibacakan curhatannya.

(Suara Nisa membaca surel dengan nada simpatik dan penuh pengertian)

Nisa (membaca): "Bu Nisa, Pak Reza, saya sangat mencintai istri saya, 'Dina'. Kami baru menikah setahun dan secara umum hubungan kami baik. Tapi akhir-akhir ini saya merasa... sedikit 'hilang' atau kehilangan diri saya sendiri. Sebelum menikah, saya punya hobi nge-band bareng teman-teman seminggu sekali, suka main futsal di akhir pekan, dan punya beberapa teman dekat laki-laki yang sering saya temui untuk sekadar ngobrol atau nonton bola. Sejak menikah, Dina sepertinya maunya kami menghabiskan hampir semua waktu luang berdua saja. Kalau saya izin mau pergi nge-band atau futsal atau sekadar nongkrong sebentar dengan teman, dia seringkali cemberut, bilang saya tidak memprioritaskannya lagi, atau bertanya 'Memang teman/hobi lebih penting dari istri?'. Saya jadi serba salah. Saya sayang Dina dan tentu ingin membuatnya bahagia dan merasa jadi prioritas, tapi di sisi lain saya juga rindu melakukan hal-hal yang saya suka itu, rindu jadi diri saya sendiri di luar peran sebagai suami. Bagaimana ya menyeimbangkannya tanpa menyakiti perasaan Dina atau membuat pernikahan kami jadi renggang?"

(Hening sejenak)

Nisa: Gilang… terima kasih sudah berbagi dilema yang sangat umum dialami oleh banyak pasangan baru (dan kadang pasangan lama juga) ini ya. Perasaan ingin selalu bersama, terutama di awal-awal pernikahan, itu wajar sekali kok. Itu menunjukkan adanya ikatan cinta dan keinginan untuk membangun kebersamaan yang kuat. Dina mungkin merasa begitu karena saking sayangnya padamu dan ingin memaksimalkan waktu bersama sebagai pasangan baru.

Reza: TAPI… (nadanya sengaja dibuat penting) seperti yang Ibu bilang tadi, hubungan yang sehat itu bukan tentang dua orang yang menghapus identitasnya dan melebur jadi satu adonan. Tapi tentang dua individu utuh yang memilih membangun rumah bersama. Justru keunikan ‘dunia Gilang’ (musik, futsal, teman-temanmu) dan keunikan ‘dunia Dina’ (apapun itu hobinya atau teman-temannya) itulah yang membuat ‘dunia KITA’ menjadi lebih kaya, lebih berwarna, dan tidak membosankan.

Nisa: Kalau salah satu atau keduanya ‘mengunci diri’ dari dunianya masing-masing demi ‘kita’, lama-lama ‘kita’ itu bisa terasa sempit, monoton, atau bahkan menyesakkan. Akan muncul rasa kehilangan diri yang terpendam, yang kalau tidak disadari bisa berubah menjadi resentment atau kekesalan pada pasangan yang dianggap ‘mengekang’. Jadi, rasa rindu Gilang pada hobi dan teman-temanmu itu VALID dan SEHAT. Itu bukan berarti kamu tidak cinta Dina.

Lihat selengkapnya