Curhat Cinta Istana

Shabrina Farha Nisa
Chapter #29

Lika-liku Pernikahan

Episode 6.2: Cinta di Ujung Senja - Saat Sakit Menguji Janji Sehidup Semati

(Suara jingle podcast bab 6 yang sama, tenang, dewasa, dan reflektif, kali ini dengan melodi yang sangat lembut, syahdu, dan penuh kehangatan, lalu fade out)

Reza: Asalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh… Selamat datang kembali di Curhat Cinta Istana, teman-teman. Episode terakhir dari Bab Ketiga kita. Saya, Reza Satria…

Nisa: …dan saya, Nisa Farha. Di episode lalu kita sudah membahas persiapan pensiun bersama ya, Pak. Merancang babak baru dengan visi yang selaras. Hari ini, kita akan menyentuh tema yang mungkin paling menguji kedalaman cinta dan komitmen dalam sebuah pernikahan jangka panjang.

Reza: Betul, Bu. Momen ketika janji suci pernikahan – “dalam suka maupun duka, dalam sehat maupun sakit” – benar-benar diuji secara nyata. Momen ketika salah satu atau kedua pasangan mulai menghadapi tantangan kesehatan yang serius di usia senja, yang tak pelak mengubah dinamika hubungan secara drastis.

Nisa: Ini adalah ujian cinta dan kesetiaan yang sesungguhnya. Bagaimana kita mendampingi pasangan saat fisiknya tak lagi sekuat dulu? Bagaimana menjaga keintiman saat aktivitas terbatas? Bagaimana mengelola emosi kita sendiri sebagai pendamping atau caregiver yang mungkin juga lelah dan berduka? Ini pertanyaan-pertanyaan sulit yang akan coba kita renungkan bersama, berbekal curahan hati yang sangat jujur dari sahabat kita, 'Tuti', 65 tahun, yang telah menikah 40 tahun dengan suaminya, 'Agus'. Silakan, Pak Reza, dibacakan.

(Suara Reza membaca surel dengan nada pelan, penuh empati dan kelembutan)

Reza (membaca): "Ibu Nisa dan Pak Reza yang bijaksana. Saya dan suami saya, 'Agus', sudah menikah 40 tahun lamanya. Alhamdulillah kami selalu sehat dan cukup aktif selama ini. Namun, sekitar enam bulan lalu, Agus didiagnosa penyakit jantung yang cukup serius dan juga ada komplikasi diabetes. Kondisinya kini membuatnya sangat cepat lelah, tidak bisa lagi melakukan aktivitas fisik berat yang dulu sering kami nikmati bersama seperti naik gunung tipis-tipis atau berkebun lama di halaman. Kehidupan intim kami juga praktis berhenti total karena kondisi fisik dan juga pengaruh obat-obatannya. Saya sedih sekali melihatnya kadang murung atau frustrasi dengan keterbatasannya. Tapi terus terang, di sisi lain, saya sendiri juga merasa sangat lelah merawatnya setiap hari, kehilangan teman beraktivitas seperti dulu, dan sangat merindukan kehangatan fisik di antara kami. Saya merasa sangat bersalah karena memiliki perasaan-perasaan ini – lelah, sedih karena kehilangan kebersamaan dulu, rindu keintiman – rasanya saya egois sekali memikirkan diri sendiri saat suami sedang sakit. Tapi saya tidak bisa membohongi hati saya. Bagaimana ya caranya kami berdua bisa melewati masa sulit ini, Bu, Pak?"

(Keheningan yang cukup panjang, terdengar Nisa menghela napas berat)

Nisa: Ibu Tuti… ya Allah, Bu. Terima kasih banyak sudah berbagi perasaan yang begitu kompleks, jujur, dan pasti sangat berat ini kepada kami. Hati kami sungguh tersentuh. Ibu perlu tahu satu hal yang paling penting: Semua perasaan campur aduk yang Ibu rasakan itu – sedih untuk suami, lelah merawat, rindu akan masa lalu, bahkan rasa bersalah karena merasa lelah atau rindu – itu SEMUANYA SANGAT MANUSIAWI. Itu bukan dosa, bukan egois. Itu adalah respons alami seorang manusia yang menghadapi perubahan besar, kehilangan, dan beban caregiving yang berat. Mengakui dan menerima semua perasaan ini adalah langkah pertama yang sangat penting untuk bisa mengelolanya.

Reza: Betul sekali. Jangan hakimi diri Ibu sendiri karena merasa lelah atau rindu. Ini adalah bentuk kehilangan dan kedukaan. Ibu berduka atas hilangnya kondisi kesehatan suami, berduka atas hilangnya gaya hidup aktif yang dulu kalian nikmati bersama, berduka atas hilangnya bentuk keintiman fisik yang dulu ada. Memberi ruang untuk duka ini penting. Tapi, setelah itu, seperti yang Ibu tanyakan, bagaimana cara melewatinya? Kuncinya adalah adaptasi dan mencari cara baru untuk terhubung dan menikmati kebersamaan dalam kondisi yang sekarang, bukan terus menerus meratapi apa yang hilang di masa lalu.

Nisa: Di sinilah komunikasi antara Ibu dan Bapak Agus menjadi sangat vital, meskipun mungkin sulit. Coba cari waktu yang tenang, sampaikan perasaan Ibu dengan lembut. Mungkin tidak perlu menuangkan semua keluh kesah sekaligus, tapi sedikit demi sedikit. "Pak, Ibu tahu Bapak sedang tidak mudah kondisinya. Ibu juga merasa sedih kita tidak bisa jalan-jalan seperti dulu lagi ya." Tapi penting juga untuk mendengarkan perasaan Bapak Agus. Mungkin beliau juga merasa sedih, frustrasi, atau bahkan merasa bersalah karena merasa ‘merepotkan’ atau tidak bisa lagi menjadi suami yang ‘seperti dulu’ bagi Ibu. Saling berbagi kerentanan ini, alih-alih memendamnya sendiri-sendiri, justru bisa memperdalam koneksi emosional kalian di tengah keterbatasan fisik.

Lihat selengkapnya