Curhatan Seorang Perantau

Cindy Cecillia
Chapter #1

Bab 1

  Dengan membawa sebuah koper jadul yang rodanya tidak bisa dijalankan secara 360° dan harus digeret dari depan, aku kini sudah berdiri di halaman kedatangan Bandara Soekarno-Hatta. Masih kuingat jelas bagaimana dua jam yang lalu, kaki ini melangkah melewati garbarata menuju pesawat berwarna putih dan biru tua, meninggalkan tanah tempat aku dibesarkan selama 22 tahun terakhir. Masih kuingat pula bagaimana tawa dan canda dua orang penumpang yang duduk di depanku membahas tempat-tempat yang akan mereka kunjungi setibanya di Jakarta. Juga masih kuingat bagaimana kabin-kabin yang terisi hampir sepenuhnya dengan oleh-oleh khas kota yang kutinggalkan ini, terlihat dari kotak kardus dan plastik berwarna kuning yang memunculkan nama toko oleh-oleh tersebut. Dan masih kuingat dengan sangat jelas bagaimana akhirnya aku bisa memutuskan untuk pergi dan pindah ke kota metropolitan ini.

  Aku tidak sendirian. Mami memutuskan untuk ikut menemaniku selama beberapa minggu sebelum melepasku sendirian di kota yang penuh dengan hiruk pikuk ini. Aku cukup lega ketika mendengar keputusan Mami tersebut, dua hari yang lalu, saat aku menangis tersedu-sedu ingin pergi sejauh-jauhnya dari kota itu. Setidaknya, aku bisa beradaptasi dengan lebih mudah bila ada Mami. Toh, Mami bukanlah orang baru di Jakarta.

  "Sudah kamu pesan Grab-nya?" tanya Mami yang berdiri di sebelahku. Lantai bermotif seperti batu bata itu menjadi pemandanganku ketika aku sedang melihat tarif mobil dari aplikasi Grab.

  "Sudah, tapi belum ada driver yang mau ambil, nih. Kayanya karena disini ada taksi lokal juga. Apa kita naik taksi aja ya, Mi?" Ada perasaan takut dalam diriku kalau sampai nekat memesan dan terjadi pertengkaran antara supir taksi online dan supir taksi lokal yang memang menjadi penguasa bandara. Bukan rahasia lagi apabila para supir taksi lokal merasa dengan adanya taksi online ini menjadi ancaman untuk mereka, sehingga mereka pun tidak memperbolehkan para supir taksi online ini untuk memasuki wilayah khusus, yaitu bandara.

  "Yaudah, nanti aja baru pesan. Kita makan dulu disitu, yuk. Mami kangen banget sama bakso gepengnya!" Tanpa menunggu jawaban dari mulutku, Mama sudah menggeret koper miliknya dan berjalan menuju sebuah tempat makan di sisi kanan halaman kedatangan bandara yang bertuliskan Baso Afung.

  Tanpa berlama-lama, aku pun mengikuti langkah Mami dan ikut memesan semangkuk bakso gepeng dan segelas es jeruk. Kata Mami, ini adalah bakso gepeng terenak yang pernah ia makan. Terakhir kali ia memakannya sudah belasan tahun yang lalu. Aku ikut merasakan senang melihat ekspresi Mami yang begitu bahagia ketika menyantap dan melahap setiap bakso tersebut.

  Sepertinya masa depanku di kota ini akan lebih baik dari sebelumnya. Selamat tinggal, Medan. Hai, Jakarta.

***

  Teringat kejadian beberapa hari yang lalu, sebelum akhirnya aku nekat meninggalkan kota Medan yang sudah menjadi rumahku selama puluhan tahun. Saat itu, aku sedang bersama dengan pacarku yang berprofesi sebagai dokter muda di salah satu rumah sakit swasta. Ia berasal dari India dan memiliki agama Sikh, dua hal yang berbeda jauh denganku yang memiliki darah Tionghoa dan beragama Kristen Protestan. Berpacaran selama tiga tahun dengannya, tidak pernah ada masalah berarti di dalam hubungan. Dia adalah lelaki pertama yang benar-benar memperlakukanku sebagai wanita seutuhnya. Mengajak kencan setiap Sabtu malam, membukakan pintu mobil untukku, memberiku buket bunga di hari Valentine, dan mengenalkanku kepada teman-temannya. Aku mencintainya dan yakin bahwa hubungan ini pastilah berakhir dengan ia bersimpuh di satu kakinya sembari mengeluarkan kotak cincin dan berkata kepadaku, "Will you marry me?"

Lihat selengkapnya