Curhatan Seorang Perantau

Cindy Cecillia
Chapter #2

Bab 2

  Tujuan makan malam pertama di Jakarta hari itu adalah Hoka-Hoka Bento yang berada di daerah Lokasari. Entah kenapa, HokBen, singkatan dari Hoka-Hoka Bento selalu menjadi kenangan tersendiri untukku dan Mami akan kota Jakarta. Teringat terakhir kali aku dan Mami menginjakkan kaki di Jakarta pada tahun 2008, saat itu aku masih berusia 12 tahun, Mami mengajakku untuk mencicipi makanan bernuansa Jepang ini di dua outletnya yang berbeda. Di Gajah Mada Plaza dan Lokasari ini. Sehingga ketika akhirnya kami berdua berada di dalam Hokben Lokasari pada malam hari itu, kenangan akan tahun 2008 kembali menyergap ke rusuk kami masing-masing. Bukan kenangan yang baik semestinya, karena kedatangan kami di Jakarta pada tahun 2008 itu berkaitan dengan pertengkaran Mami dan Papi yang lumayan besar.

  Aku masih mengingat dengan jelas bahwa menu Egg Roll dari HokBen adalah favoritku, sehingga tanpa segan aku segera memesan menu itu. Ketika akhirnya di hadapanku terpampang enam buah Egg Roll dan nasi khas HokBen yang selain wangi juga nikmat, aku segera menyantapnya dengan lahap. Mama juga demikian dengan menu Beef Teriyaki Set kesukaannya sejak dulu. Kami bernostalgia sejenak di dalam tempat makan yang dikelilingi oleh jendela kaca itu, berbaur dengan orang-orang yang juga sedang menyantap makanan mereka masing-masing.

  Pada saat itu, kawasan Jakarta yang familiar di otakku hanyalah Jakarta Pusat. Mami dan Papi yang merupakan orang asli Jakarta bertempat tinggal disitu sehingga akhirnya aku pun asing dengan kawasan Jakarta lainnya. Rumah orang tua Mami berada di daerah Tebet, Jakarta Selatan, sedangkan rumah orang tua Papi berada di daerah Gunung Sahari, Jakarta Pusat. Mami mengikuti Papi dan pindah ke rumah orang tua Papi dan sejak saat itu, kehidupan Mami dan Papi hanya berkisar di daerah situ saja, begitu cerita Mami selepas kami menyelesaikan makan malam kami di HokBen dan hendak kembali ke hotel.

  "Mangga Besar ini daerahnya Mami sama Papi dulu kalau pacaran. Dari ujung sampai ke ujung juga Mami masih hafal!" seru Mami dengan semangatnya saat kami sedang duduk di dalam taksi online menuju hotel. Saat itu memang taksi yang kami naiki sedang melewati daerah Mangga Besar. Lalu taksi itu juga melewati Gunung Sahari sebelum akhirnya sampai di hotel. Mami tak hentinya berbicara mengenai setiap titik yang kami lewati.

  "Tadi di Gunung Sahari situ ada rumah makan terkenal, namanya Rumah Makan Kalimantan. Emang sih, secara penampilan jorok gitu keliatannya, tapi makanannya, beh mantap!" Mami masih berapi-api membicarakan perjalanan kami tadi padahal kami sudah berada di dalam kamar hotel. Aku hanya mengangguk dan mengiyakan karena sudah terlalu lelah. Mami yang melihatku mulai menutupi wajah dengan selimut pun segera menutup mulutnya dan ikut berbaring di ranjang.

  Anehnya, aku yang begitu lelah justru tidak bisa tidur dan terbangun beberapa kali di sepanjang malam itu.

***

  "Halo, apa kabar, Tante? Halo, Cel. Udah besar banget nih sekarang. Terakhir ketemu lo masih kecil banget," sapa Mimi, anak bungsu Tante Nerissa yang juga merupakan sepupuku. Karena Tante Nerissa merupakan anak pertama di keluarga Papi yang memiliki 9 orang anak, jadilah jarak umur antar sepupu ini begitu jauh satu dengan yang lainnya. Mimi sendiri sudah berumur 35 tahun dan memiliki 2 orang anak yang kini duduk di bangku SD.

  "Halo juga, Ci. Awet muda terus nih dari dulu," jawabku lagi seraya menggoda Mimi.

  Mimi langsung menjewer telingaku. "Dasar lo ya, gak berubah dari dulu. Jahil amat. Udah sana naik langsung ke lantai paling atas ya, lo sekamar sama kakak gue, si Alissa."

  Jangan heran kenapa aku tidak memanggil dengan sebutan yang lebih sopan kepada sepupu-sepupuku ini. Karena kami cukup dekat dulunya, jadilah panggilan itu dihilangkan dan sejak saat itu aku memanggil sepupu-sepupuku yang jauh umurnya dariku ini dengan sebutan nama.

Lihat selengkapnya