Hari-hari berikutnya kuhabiskan dengan menunggu panggilan interview dari lamaran-lamaran yang sudah kukirimkan. Bangun tidur, mandi, makan, berleha-leha di tempat tidur, menonton film di Netflix, sepanjang hari itu kuhabiskan dengan menunggu sesuatu yang tak pasti kapan datangnya. Jangan kau pikir aku hanya merasakan kenyamanan semata di rumah Tante Nerissa. Aku harus ikut terbangun di pagi hari pada pukul 06.30 akibat alarm dari HP Alissa yang tidak kunjung berhenti jika sang pemilik HP tidak terbangun dari tidur nyenyaknya. Belum lagi, AC di kamar yang dimatikan ketika sang pemilik kamar hendak ke kantor dan membuatku terpanggang oleh panasnya matahari siang yang langsung menerpa dari jendela kamar. Sebenarnya, Alissa sudah memberitahuku untuk tetap menyalakan AC saja jika dia tidak ada di kamar, namun karena aku tidak mau merepotkan dengan menambah biaya listrik bulanan di rumah Tante Nerissa, maka aku pun sadar diri dan lebih memilih berpanas-panasan ria.
Masih kuingat satu serial dari Netflix yang menjadi penyemangatku sebagai anak perantau di Jakarta. Judulnya Grey's Anatomy. Berkisah tentang kehidupan sehari-hari empat dokter muda yang sedang magang di sebuah rumah sakit, lengkap dengan masalah-masalah dan juga kematian yang setiap hari harus mereka hadapi di rumah sakit ataupun di sekitar mereka. Aku menjadi bersemangat untuk terus mengirimkan lamaran pekerjaan di Jakarta akibat melihat kehidupan dua tokoh utamanya, Meredith Grey dan Christina Yang. Dalam hatiku membatin, aku ingin cepat bekerja sehingga bisa mendapatkan gaji dan bersenang-senang seperti mereka. Aku tahu ini alasan klise, kenapa pula mereka yang menjadi panutanku dalam mencari kerja di Jakarta, tapi itulah yang kurasakan saat menonton berpuluh-puluh episode kehidupan dua tokoh tersebut. Semua orang tentunya memiliki panutan dalam hidup dengan alasannya masing-masing, bukan? Kita tidak bisa memaksa seseorang untuk membenci Adolf Hitler, seberapa pun jahatnya ia ketika menjadi seorang diktator, karena bisa jadi, di tempat lain, ia menjadi alasan seseorang untuk hidup.
Ada satu kejahatan kecil yang kulakukan ketika aku tinggal di rumah Tante Nerissa. Kejahatan ini terjadi di setiap jam makan siang atau sekitar pukul 12 siang setiap harinya. Karena Tante Nerissa merupakan seorang vegan dan aku tidak suka memakan sayur, tentu aku harus membeli sendiri makan siangku setiap hari. Membeli online adalah jalan ninjaku. Karena aku tidak mau terlihat boros oleh Tante Nerissa, maka aku pun selalu melakukan pembelian makanan itu setelah Tante Nerissa dan suaminya, Om Kuncoro, selesai makan siang di meja makan lantai bawah. Setelah makan siang, biasanya keduanya akan bergegas naik ke kamar untuk tidur siang. Kebiasaan ini sudah kuperhatikan dari hari pertama aku menumpang di rumah Tante Nerissa.
Maka ketika supir ojek yang membawa makananku datang, aku pun berjalan turun dengan sepelan mungkin, tanpa keributan, untuk mengambil pesananku. Lalu, aku akan kembali naik menuju kamar Alissa dan makan siang di dalam kamar. Tidak sopan memang, tapi jiwa introvert yang kumiliki begitu menggebu-gebu dan aku sangat tidak ingin berbasa-basi dengan pemilik rumah. Begitulah, setiap harinya aku melakukan kebiasaan ini. Lantas, dimana kejahatannya? Inilah dia, di satu hari yang tenang, Tante Nerissa tiba-tiba memanggilku ke bawah.
"Cel, Tante mau nanya sama kamu, biasanya kalau kamu habis makan siang, sampah makanannya dibuang kemana?"
Aku menjawab dengan entengnya, "Ke tong sampah diluar rumah, Tan. Kenapa emangnya?"
"Oh, soalnya tetangga belakang rumah tadi pagi ngeluh halaman rumahnya penuh sama sampah makanan. Katanya, ada orang yang buang sampah setiap siang dari jendela kamar Alissa," Tante Nerissa mengatakan kalimat itu tanpa intonasi memarahi, bahkan lembut seperti biasanya.
"Buang sampah? Gak mungkin aku, Tante, aku selalu buang di depan rumah, kok." Masih aku berusaha mengelak dari tuduhan Tante Nerissa itu.
"Hahaha, ya sudah kalau memang bukan kamu, berarti tetangga belakang itu salah lihat orang."