Langkah sepatu logam mereka meninggalkan jejak samar di tanah lembap. Akar-akar menonjol dari tanah, menyembul seperti tangan-tangan kurus yang siap menjegal siapa saja. Udara pagi di lantai lima menara terasa berat, basah, dan berbau lumut tua yang membusuk. Ira menelan ludah, pelan, dan menatap punggung rekan-rekannya yang berjalan tanpa beban.
“Aku… rasa kita harus berhenti sebentar dan aktifkan buff,” ucapnya ragu.
Tak ada yang benar-benar mendengarkan. Sang warrior mengangkat bahu. Assassin tertawa pelan.
‘Mereka selalu begitu. Healer cuma diperlukan saat mereka terluka. Sisanya… aku tak ada artinya.’
Ira menarik napas, mencium samar aroma logam yang menguar dari zirah dan senjata mereka. Suara gesekan pelindung dada dengan perisai di sisi tank depan begitu mencolok—terlalu mencolok.
Burung tak berkicau. Ranting tak patah. Angin hanya membelai dedaunan tanpa suara.
‘Terlalu senyap. Hutan ini… menyembunyikan sesuatu.’
Ia melirik ke kanan. Sebuah pohon besar berdiri angkuh, daunnya gelap, nyaris tak bergerak. Mata Ira menyipit, ada kilatan perak—tidak, itu bukan cahaya biasa—itu… mata? Tapi sebelum sempat bicara, suara lembut terdengar.
“Ckkt.”
Benda tajam menembus kepala Ira dari atas, ujungnya keluar dari bawah dagu. Dunia langsung berguncang. Pandangannya buram.
Tubuhnya tak bisa digerakkan. Ada sesuatu—makhluk kecil—berdiri di bahunya.
‘Aku… tidak sempat…’
Langit terlihat jauh. Suara zirahnya yang jatuh terdengar nyaring. Air mata mengalir tanpa sempat ia sadari. Napas terakhirnya menghilang dalam diam yang pekat.
"Apa… Ira?"
Langkah Karo terhenti. Suaranya tercekat di tenggorokan, seperti tersangkut tulang ikan. Ia menoleh cepat ke belakang. Healer mereka berdiri tak wajar… terlalu kaku.
Dari jarak itu, Karo melihat darah menetes deras dari bawah dagu Ira, membentuk garis di leher dan membasahi zirah putih yang kini dipenuhi merah. Di pundaknya—ada sesuatu.
‘Goblin? Secepat itu? Dari mana—’
Dua tank di depan mengaktifkan skill mereka bersamaan. Aura oranye samar menyebar dari tubuh mereka, memancing musuh di sekitar. Tapi tak ada satu pun yang muncul.
‘Kenapa… kenapa mereka nggak nyerang tank?’
"Kita dikepung! TUTUP FORMASI!" seru warrior. Tapi terlambat.
Karo melesat ke arah Ira. Dendam dan panik memandu gerakannya. Pisau pendeknya sudah tergenggam erat. “RAAAH!!” teriaknya sambil melompat, siap menebas goblin di atas tubuh temannya.
Tapi udara terasa lebih berat. Ada bayangan di atas.
“Tktktk!” Dua goblin melompat dari pohon, mendarat tepat di tubuhnya saat masih melayang di udara. Pisau mereka seperti duri kematian. Satu menancap di bahunya, satu lagi menembus sisi perutnya.
‘T-tidak…’
Tubuhnya kehilangan keseimbangan, darah menyembur dari mulutnya sebelum sempat mendarat. Ia jatuh ke tanah, terasa dingin dan lembap.
Salah satu goblin menarik rambutnya ke belakang, dan menatapnya dengan mata kuning kecil yang berkilat. Tawa serak terdengar dari segala penjuru.
‘Kenapa… mereka bisa… seperti ini? Mereka… tidak seperti goblin yang kutahu…’
Satu tusukan lagi. Dan gelap menelan segalanya.
Langkahku berat. Suara detak jantung lebih keras dari apa pun. Karo baru saja tumbang… seperti boneka yang dilempar ke tanah.
‘Kita dikepung. Taunt tak mempan… Ini bukan pertempuran. Ini penyembelihan.’
“Tetap rapat! Jangan berpencar!” aku berteriak, meski suara sendiri terdengar asing. Tank di depan tetap maju, formasi dipertahankan dengan paksa. Kami berlari menyusuri jalur yang mulai menanjak—menuju pinggiran hutan yang lebih terbuka.
Gemerincing zirah tak lagi terdengar seperti perlindungan. Tapi undangan kematian.
BOOM!
Suara ledakan memecah udara. Asap dan bau logam terbakar memenuhi hidung.
"AARGHHH!" jerit salah satu tank. Aku melihatnya—tubuhnya terlempar, kakinya hilang dari lutut ke bawah. Darah menyembur liar dari luka terbuka, membentuk kubangan merah pekat di tanah.
‘Tidak… tidak mungkin. Siapa yang… memasang ranjau di sini?’
Tank satunya terpental dan menabrak pohon. Tubuhnya lemas, mungkin pingsan—mungkin juga mati.
Aku nyaris terjungkal sendiri karena shock. Tapi saat aku hendak menarik napas—
“Krrrkkhh…”
Langkah kecil. Logam beradu tanah. Seekor goblin berzirah ringan keluar dari balik semak. Di tangannya… sebilah pisau pendek, kotor, tapi tajam.
Ia mendekati tank yang kehilangan kaki. Yang kini merangkak, memohon padaku.
"Va-Vargo… t-tolong… aku—"
Aku tak bisa bergerak. Ototku membeku.