Di ruang sempit penuh lemari besi dan catatan misi, suara pena terdengar menggores kertas. Tangan pria paruh baya dengan janggut tipis tampak cekatan membubuhkan tanda silang merah di daftar survivor yang masuk ke lantai lima tiga hari lalu.
“Party ketujuh belas… hilang kontak,” gumamnya lirih.
Ia menatap daftar itu sejenak, menghela napas pelan. Sudah tiga minggu berlalu sejak lantai lima menjadi misteri. Tidak ada yang kembali. Tidak satu pun mayat yang dikirimkan keluar oleh sistem. Seolah mereka menguap begitu saja.
“Lantai lima makin seperti jebakan,” katanya lagi, kali ini pada rekan di seberang meja.
Seorang wanita berambut pendek mengangguk pelan. “Kita sudah mulai menolak permintaan misi ke sana. Tapi masih saja ada yang nekat. Terutama yang baru naik dari lantai empat.”
Pencatat itu menatap kosong ke arah peta digital yang memuat struktur menara. Ada ratusan titik cahaya kecil yang menyala, melambangkan posisi para survivor. Namun satu lantai tampak nyaris kosong… lantai lima.
“Seakan sesuatu... menunggu mereka di sana.”
Sementara itu, di kantin yang ramai, beberapa obrolan bocor ke udara.
“Aku dengar satu party petarung lengkap masuk bareng dari Guild Garm,” bisik seorang pemuda sambil menggenggam cangkir logam. “Mereka bawa dua tank, satu ranger, dan satu cleric.”
“Dan mereka gak balik?” tanya kawannya dengan wajah tegang.
“Hilang. Sistem bilang mereka belum mati, tapi juga gak pindah lantai. Gak ada sinyal. Gak ada portal balik.”
“Jadi… mereka hidup, tapi… mungkin dikurung?”
“Gak ada yang tahu.”
Hening sesaat. Suara sendok mengenai pinggan.
“Ada yang bilang lantai lima mulai ‘berubah’. Seperti... ada yang ngerombak seluruh sistemnya dari dalam.”
“Ngaco. Mana mungkin bisa kayak gitu. Ini menara, bukan bangunan kosong.”
Tapi dalam keraguan itu, rasa takut mulai menebar seperti asap. Tak ada yang tahu. Tapi semua mulai curiga.
Padang rumput di lantai 33 meluas sejauh mata memandang. Angin berhembus pelan, menggoyangkan rerumputan setinggi lutut yang berkilau keperakan di bawah sinar artifisial langit menara. Di tepi hutan gelap yang menjulang seperti pagar bisu, berdirilah sebuah pondok kecil dari kayu kasar—rapuh, namun cukup untuk bertahan.
Stehl duduk di bangku batu di depan pondok itu, sepotong wortel mentah tergenggam di tangannya yang penuh bekas luka logam. Ayam-ayam kecil berjalan di sekitar kakinya, mematuki tanah dan mengais dedaunan gugur. Di belakang pondok, terdengar suara gemericik air dari kolam ikan yang ia gali sendiri.
Tak ada sistem. Tak ada notifikasi. Hanya hari yang hening.
‘Satu-satunya tempat di menara ini yang terasa seperti hidup,’ pikirnya sambil mengunyah pelan.
Di dalam pondok, dindingnya dipenuhi rak senjata. Bukan senjata legendaris. Hanya logam yang dibentuk kasar—beberapa bengkok, beberapa belum diasah, beberapa bahkan seperti tidak selesai.
Tumpukan senjata itu menyesaki seluruh gudang di belakang pondok. Tak lagi tertata. Pedang tanpa gagang bercampur dengan tombak berujung tumpul. Pelindung dada terselip di bawah rangka perisai yang belum dilengkapi.
“Gudang ini akan jadi bencana kalau terus didiamkan,” gumamnya sambil berdiri. Ia menarik sebuah kapak kecil dari tumpukan dan melemparnya ke luar. “Saatnya bebenah… dengan cara yang tidak biasa.”
Tangannya mengarah ke lantai. Sebuah lingkaran kecil menyala. Portal gelap terbuka perlahan. Bukan portal yang diberikan sistem. Tapi… hasil sesuatu yang lebih pribadi.
Ia berjalan ke dalam pondok, membuka peti di bawah lantai. Di dalamnya, kantung-kantung besar dari kain gelap tergeletak. Ia mengangkat salah satunya dan melempar ke luar.
“Fusion Weapon, ya?” katanya lirih, sambil menatap antarmuka sistem yang hanya ia lihat.
[Skill: Create Weapon – Lv. 12]
[Skill Baru: Weapon Fusion – Lv. 1]
Di bagian bawah skill Weapon Fusion muncul catatan kecil:
> Menggabungkan dua senjata menjadi satu bentuk baru dengan efek, status, dan kemampuan acak. Risiko tinggi. Akibat tak terduga.
Ia terkekeh. “Sudah kuduga tak ada yang normal dari skill ini.”
Ia menyiapkan tiga kantung penuh senjata asal-asalan, lalu kembali duduk di atas bangku batu. Pandangannya tertuju pada langit palsu yang seperti tak pernah berubah.