Cangkulnya menghunjam tanah dengan dentingan berat. Sekali, dua kali, tiga kali—setiap ayunan mengangkat bau basah dari bumi yang belum disentuh manusia lain. Tanah itu keras di bagian bawah, seolah menolak diubah. Tapi Stehl tak berhenti. Peluh menetes dari pelipisnya, bercampur debu, lalu menghilang bersama langkah mundurnya yang pelan.
Ia berdiri sejenak, menatap lahan sempit yang baru setengah tergarap.
‘Aku butuh ruang lebih. Kacang sudah hampir habis, gandum terlalu lambat tumbuh, dan jagung hanya cukup untuk tiga minggu ke depan.’
Pikirannya menancap dalam seperti cangkul di tangannya.
Semakin lama ia tinggal di sini, semakin banyak yang harus dipenuhi. Dulu ia berpikir padang ini cukup luas. Tapi tanah selalu punya cara menunjukkan kekurangannya. Dan manusia—betapapun ia membencinya—masih harus makan.
Angin meniupkan debu ke udara. Beberapa ayam berlarian menghindar, mengepak pelan dan kembali tenang. Kolam kecil di sudut ladang memantulkan langit pucat lantai 33 yang selalu terlihat muram. Ia mengabaikannya.
‘Harus cari benih baru. Sekalian cari garam, dan mungkin... minyak untuk obor.’
Kakinya bergerak lagi. Cangkul menghantam dengan lebih keras dari sebelumnya. Kali ini, bukan sekadar mencangkul tanah—tapi menghukum kebutuhan yang terus bertambah.
Gerbang lantai 33 berdiri sunyi di tengah batuan pualam yang seolah ditinggalkan zaman. Cahaya putih yang keluar dari portal tak berwarna menyilaukan, tapi tak hangat. Di sisi kiri gerbang, berdiri altar kecil dari batu. Di sanalah Stehl meletakkan sesajinya—seikat sayuran segar, tiga butir telur, dan secawan air bersih.
“Terimalah ini,” gumamnya pelan. “Tiga hari cukup.”
Suara lirih seperti embusan napas menyapu altar. Udara bergetar lembut. Tak ada sosok, tak ada suara, tapi satu retakan cahaya muncul di antara gelombang portal. Perlahan, gerbang ketiga terbuka—pintu menuju lantai luar.
Ia melangkah masuk tanpa ragu.
‘Benih wortel, bayam, mungkin sedikit kacang. Kalau ada yang jual biji labu, itu juga bagus. Dan lilin. Jangan lupa lilin.’
Langkahnya mantap. Palu tergantung di sisi pinggang, digelayuti kantung kulit tipis yang nyaris kosong. Tak ada yang mencolok. Jubahnya compang-camping seperti gembel tua yang baru keluar dari hutan mati.
Begitu ia melangkah ke lantai luar, kota menyambut dengan hiruk-pikuk manusia—para survivor yang berlalu-lalang, berdagang, bersenjata, dan berjaga. Tak satu pun dari mereka memandang dua kali ke arah Stehl.
Ia hanyalah bayangan lain di tengah dunia yang terlalu sibuk.
Pasar itu tak pernah sepi. Terletak di kaki menara, tempat para survivor, pedagang, dan penyamun bercampur tanpa sekat. Jejak darah di ujung lorong masih baru, namun bau roti panggang dan kayu manis mendominasi udara.
Stehl berjalan pelan, melewati tenda-tenda lusuh dengan spanduk warna warni yang tak lagi terbaca. Tak ada yang memperhatikannya. Tak ada yang ingin.
‘Mereka mencari orang yang mengangkat pedang, bukan cangkul. Mereka mencari kelas, bukan diam.’
Ia menyusuri lorong menuju bagian terdalam pasar. Tempat penjual kecil berkumpul—yang hanya menjual benih, minyak, atau garam.
Di pojok paling sepi, seorang perempuan tua duduk bersila di belakang keranjang rotan. Rambutnya putih, wajahnya keriput, tapi matanya tajam seperti kail ikan.
“Benih sayur,” kata Stehl pelan.
Perempuan itu menatap sebentar, lalu menunjuk keranjang sebelah kiri. “Labu, bayam, bawang, dan kacang. Tidak ada jagung.”
Stehl mengangguk. Ia memilih perlahan, tanpa bicara. Tangannya bergerak teliti, memeriksa setiap kantung kecil seolah membaca isi tanah tempat mereka akan tumbuh.
“Tak banyak petani di sini. Kau dari luar kota?” tanya si nenek, separuh penasaran, separuh basa-basi.
“Menumpang hidup.”
Jawaban itu cukup. Tak jujur, tapi tak bohong.
Ia membayar dengan beberapa koin perak yang lusuh, bekas tertimpa api atau senjata. Si nenek tak peduli. Koin tetap koin.
Saat ia berbalik, sepasang mata memperhatikannya dari kejauhan—dari balik kain tenda yang menguarkan bau keringat. Seorang pemuda bersenjata tombak pendek, mengenakan armor ringan.