Suara gemeretak mesin menyambut pagi di lantai 33. Bukan kicauan burung atau desir angin padang, melainkan deru kasar yang menggerutu dari arah danau. Stehl mengangkat kepala, menghentikan cangkulnya sejenak. Embun pagi masih menggantung di ujung daun, tapi suara itu... membuat alisnya berkerut.
Ia berdiri, menepuk-nepuk tanah di lutut celananya, lalu berjalan menyusuri pipa logam yang menjulur dari danau ke arah ladang. Saat membuka salah satu keran di dekat kolam ikan, hanya tetesan lamban yang keluar, jatuh satu per satu ke tanah kering.
“...Terlalu dini untuk rusak,” gumamnya pelan.
Langkahnya mengarah ke tepi danau. Mesin penyuling air yang ia buat sendiri berdiri di sana, rangkaian roda dan bilah yang berputar lambat, tertutup embun dan karat ringan. Tapi hari ini—bilahnya tersentak, roda giginya tergelincir, dan suara logam yang menggiling keras memenuhi udara pagi.
Stehl mematikan mesin secara manual. Tangannya bergerak cekatan membuka penutup sisi mesin, dan di sanalah ia melihatnya: roda gigi dalam—retak dan bengkok, seperti dipaksa berhenti oleh sesuatu yang tersangkut. Pecahan kecil mithril masih tersisa di sela-sela poros yang patah.
Ia menghela napas pelan. Mithril. Tak tergantikan.
Dan satu-satunya bahan yang selama ini ia andalkan untuk sistem penyuling air.
Ia merogoh saku bajunya, mengeluarkan serpihan kecil logam itu dan mengamati pantulan cahaya pagi yang memantul di permukaannya.
“Tak ada cadangan,” bisiknya. “Berarti... aku harus mencarinya lagi.”
Matanya menatap lurus ke horizon. Matahari mulai naik, tapi dunia di bawah langit menara tetap dingin dan sepi. Sebuah rencana mulai terpatri di dalam kepalanya—perlahan, tajam, dan pasti.
Lantai 6 dipenuhi reruntuhan batu dan akar-akar pohon mati yang menjulur dari dinding bebatuan. Cahaya biru dari lumut menyala redup di langit-langit gua alami, cukup untuk melihat, tapi tak pernah cukup untuk merasa aman.
Stehl berjalan perlahan di pinggiran tebing dalam gua, menghindari perhatian siapa pun. Matanya menangkap sosok-sosok yang tengah merundung seorang survivor muda di bawah. Tiga orang. Warrior di depan dengan zirah perak yang menyilaukan, ranger tinggi berbalut mantel kulit gelap, dan mage wanita yang tampak seperti bintang pertunjukan: rambut dikepang rapi, gaun bertali ketat, dan senyum penuh ejekan.
“Kau tahu aturan tak tertulis, kan?” suara ranger terdengar pelan, namun tajam. “Yang lemah memberi, yang kuat melindungi. Ini untuk keselamatan bersama.”
“B-bukankah aku sudah memberi setengah potionku di lantai sebelumnya?” sahut pemuda itu terbata.
Warrior mendekat. “Kau masih punya pedang bagus. Berikan, atau biarkan darahmu menyiram bebatuan di sini.”
Stehl tidak bergerak dari tempatnya. Hanya menonton. Mencatat.
Zirah mereka dari mithril. Tameng kecil yang tergantung di pinggang warrior itu juga. Bahkan pelindung tangan mage yang berkilau samar di balik jubahnya—semua bahan yang dibutuhkan untuk memperbaiki penyuling airnya.
Tapi bukan itu yang membuat Stehl mulai menyusun rencana.
Itu adalah kalimat terakhir dari mage perempuan itu, yang sambil tertawa ringan berujar,
“Anggap saja ini pajak dari dewa kalian.”
Ia menyebut nama dewa dengan enteng, seolah dirinya lebih tinggi. Dan di benak Stehl, satu suara menggema tenang.
‘Pajak, ya? Maka biar aku menjadi kolektornya.’
Panas menyengat menyambut keluar dari pintu batu besar yang menjadi gerbang menara. Pasar di luar hiruk pikuk, dipenuhi para pedagang logistik, penjual informasi, dan penawar jasa penyembuhan murah meriah. Aroma keringat bercampur debu membuat siapa pun yang tak terbiasa ingin segera kembali masuk ke dalam menara.
Di antara keramaian itu, Stehl berdiri membelakangi arah cahaya, mengenakan kembali jubah lusuhnya yang robek di bagian bawah. Ia menunduk, memperlihatkan hanya dagu dan rambut yang kusut. Tak ada satu pun yang memperhatikannya.