Angin malam menyusup di antara puing dan batang-batang pohon hitam tanpa daun. Bau tanah lembap bercampur dengan aroma kayu terbakar menyelimuti udara. Api unggun kecil menari pelan di tengah perkemahan, menciptakan cahaya jingga yang memantul pada zirah mithril milik sang warrior. Suara daging yang mendesis di atas api jadi satu-satunya harmoni dalam keheningan.
Stehl duduk agak jauh dari pusat cahaya, menyandarkan tubuh di reruntuhan gerbang batu yang setengah hancur. Ia menunduk, menatap tanah gelap di bawah kakinya, sesekali memejam mata. Panas api hanya menyentuh sebagian kakinya, sisanya tertelan dinginnya malam yang tak pernah berlalu.
‘Udara di sini selalu terasa tua,’ batinnya. ‘Seolah dunia sudah mati, hanya belum dikuburkan.’
Ranger yang berjaga berdiri beberapa langkah di depan, matanya tajam menyapu sekitar. Busurnya menggantung di punggung, namun jari-jarinya tak pernah jauh dari gagangnya. Sesekali ia melirik ke arah kegelapan, lalu kembali menatap pada dua rekannya yang tengah makan—sang warrior yang menggigit roti keras seperti batu, dan mage wanita yang duduk menyilangkan kaki, sesekali meluruskan rambutnya.
Stehl hanya memandang sekilas. Dari posisinya, ia bisa melihat bagaimana jubah mage itu terbuka di bagian kaki, menampakkan sepatu mahal dan pelindung tangan dari mithril mengilap. Di sampingnya, tongkat sihir berukir disandarkan sembarangan, tepat di samping tas perbekalan.
“Ranger, kau tak makan?” suara sang warrior memecah keheningan, berat dan dalam.
“Jaga dulu. Aku tak suka kejutan,” jawab ranger singkat, masih menatap pekat ke hutan.
Beberapa detik kemudian, ranger mengangkat satu tangan ke atas dan mengepalnya—kode diam-diam.
Semua gerakan berhenti. Suara kayu terbakar tetap terdengar, namun suasana langsung berubah tajam.
Stehl membuka matanya perlahan. Cahaya api memantul samar di pupilnya.
Suara dedaunan kering yang terinjak.
Langkah kaki yang tersebar.
Geraman rendah—berlapis, seakan berasal dari banyak mulut.
Ranger merunduk, menarik busurnya, dan berbisik sangat pelan,
“Serigala... banyak.”
Mage wanita menoleh, wajah cantiknya mendadak tegang. Ia mengulurkan tangan,
“Tongkatku.”
Tanpa berkata sepatah pun, Stehl meraih tongkat itu—yang sedari tadi memang ia bawa sejak dari luar menara—dan menyerahkannya dengan tenang.
Mage menggenggamnya erat. Matanya menatap gelap yang mulai bergerak. Rambut panjangnya tergerai saat ia berdiri. Bayangan serigala bulan mulai terlihat di balik pepohonan. Mereka perlahan mengepung, mendekat dalam formasi samar.
Warrior mencabut pedangnya. Cahaya api menangkap pantulan senjata mithrilnya yang dingin dan tajam.
Angin terasa lebih berat dari biasanya.
Bau logam dari darah masa lalu menyelinap, seolah ingatan medan perang kembali berhembus.
“Mari kita lihat... apakah nyanyian mereka akan dimulai malam ini,” batin Stehl, tenang seperti biasa.
Mage berdiri di tengah, siluetnya terpahat jelas oleh cahaya api. Tongkat sihir ia arahkan ke depan, sementara napasnya memburu. Suara geraman dari dalam kegelapan semakin dekat. Mata serigala-serigala bulan menyala kehijauan di antara bayang pepohonan. Suara gesekan cakarnya mengoyak tanah dan batu kecil, mengirim denting yang menusuk telinga.
Mage merapal mantra.
Udara sekitarnya bergetar.
Simbol sihir muncul, tapi redup, goyah, dan kemudian—hilang.
Tidak ada api. Tidak ada petir.
Hanya keheningan yang menusuk.
“Cepat!” hardik warrior. “Lepaskan area spell sekarang!”
Mage mencoba lagi. Bibirnya bergerak lebih cepat. Napas tersengal. Tangannya bergetar.
Masih... tidak ada yang terjadi.
Tubuhnya goyah. Keringat dingin mengucur dari pelipisnya.
“Apa—kenapa—” gumam mage lirih, lututnya bergetar.
Langkahnya mundur setengah jengkal. Jantungnya berdegup seperti ingin pecah.
‘Manaku… hilang?’ pikirnya. ‘Tidak, tidak mungkin—baru saja masih penuh!’
“Lakukan sesuatu!” bentak ranger. “Mereka makin dekat—”
Stehl hanya berdiri diam, sedikit di belakang, seolah tak menyadari kepanikan itu. Mata ungunya memantulkan bayangan serigala yang makin dekat. Dalam diamnya, ia hanya menatap tongkat yang kini tergenggam di tangan si mage.
‘Kau tak sadar, ya?’ batinnya. ‘Itu bukan milikmu lagi.’
Mage terbatuk keras. Tubuhnya goyah. Muntah.
Cairan bening bercampur asam lambung jatuh di rerumputan gelap. Mage terjatuh berlutut, tangannya mencengkeram tongkat erat, namun jari-jarinya mulai kehilangan tenaga.
Warrior maju. Ia mengayun pedangnya ke arah serigala pertama yang menerjang.
Satu serigala tumbang, namun dua lainnya menggantikan.
“Bangun! Bangun dan rapalkan sihirmu!” teriak warrior sambil menahan sabetan.
Ranger menembakkan dua anak panah, tapi makhluk itu terlalu banyak. Gelombang demi gelombang terus berdatangan dari segala arah. Tak ada cukup waktu untuk berpikir. Hanya ada reaksi, panik, dan tebasan.
Mage mengangkat kepalanya. Napasnya berat. Pandangannya kabur.
‘Apa yang… terjadi… padaku…?’
Satu serigala melompat ke arahnya. Mage menjerit—terlambat. Rahang makhluk itu mengatup pada lengan kanannya—lengan yang menggenggam tongkat—dan...
CRACK!
Tulang retak.
Daging terkoyak.
Darah menyembur dalam garis lengkung yang membelah udara.
Tangan mage putus dari sikunya.
“AAARGGHHHHH!!”
Jeritan itu mengguncang udara.
Dan saat itu juga...
semua suara lenyap.
Jeritan mage memecah langit.
Namun hanya sesaat.
Lalu... senyap.