Cursed Anvil: Chaos Tower

Darian Reve
Chapter #7

Metal Tortoise

Langit buatan lantai 33 tampak seperti lembar kain hitam yang digantung mati—tanpa cahaya, tanpa bintang. Kolam kecil di tepi ladang sunyi. Tak ada riak air selain dari gerakan lembut ikan-ikan yang berenang malas. Di sisinya, Stehl duduk sambil menabur remah roti buatan dari sisa tanaman gandumnya.

Ia tidak bicara. Tidak juga menghela napas.

Hanya matanya yang menatap tenang ke permukaan air, memantulkan bayangan buram wajahnya sendiri.

‘Semuanya makin dekat... terlalu dekat.’

Ia bergumam dalam hati.

‘Setiap hariku di sini terasa seperti utang yang menumpuk. Akan tiba saatnya harus dibayar.’

Ia menutup wadah rotinya, lalu berdiri. Gerakannya pelan, seperti orang tua yang letih. Tapi di mata yang kosong itu, ada gelombang tak terlihat—gelombang yang menyimpan amarah, rencana, dan kehati-hatian yang tak pernah ia tinggalkan.

Rumahnya tenang. Terlalu tenang.

Langkah Stehl mengarah ke bengkelnya—bangunan setengah runtuh yang ia sulap jadi tempat merakit alat, menambal senjata, dan menyimpan puing-puing harapan yang dulunya disebut besi.

Meja kayu tua di tengah bengkel dipenuhi potongan senjata rusak: bilah patah, tombak bengkok, gagang tumpul. Semua bukan warisan dari pertarungan besar, tapi sampah yang ditinggalkan orang-orang terlalu bangga.

Ia membuka satu laci. Di sana tersimpan crystal of fusion—benda kecil tak berharga yang selama ini hanya dipakai saat bosan. Levelnya masih rendah. Efeknya belum stabil. Tapi kadang, dengan sedikit keberuntungan, potongan besi bisa berubah jadi legenda.

Stehl memegang dua belati rusak, satu pecahan kapak, dan batang logam lurus yang bahkan tak berbentuk. Ia mengangkat alis. Tak ada logika. Tak ada hitungan.

“Biar tangan yang memilih,” gumamnya.

Tangannya mulai bekerja.

Asap tipis memenuhi bengkel bawah tanah. Logam berserakan di mana-mana, dan meja kerja sudah penuh dengan gagang patah, bilah bengkok, serta senjata-senjata gagal yang nyaris tak menyerupai apa pun.

Stehl berdiri dalam diam. Matanya menatap kosong pada dua benda di tangannya—kapak dengan mata retak dan pedang bengkok hasil tempa gagal tiga bulan lalu. Ia menumpuk keduanya di atas landasan, lalu menekan satu telapak ke permukaan mereka.

"Fusion Weapon."

Sebuah cahaya suram mengalir dari tangannya. Awan energi samar melingkupi kedua senjata, menggerogoti logam dan kayu, melelehkan batas antara satu dan lainnya.

Hasilnya?

Pedang panjang… tanpa ujung. Hanya bilah tumpul yang bergelombang seperti dibakar dari dalam.

“Lagi.”

Ia lemparkan ke pojok. Tumpukan senjata fusion gagal sudah menggunung.

Ia ambil dua lagi. Tombak pendek dan gagang kapak.

“Fusion Weapon.”

Cahaya. Ledakan kecil.

Hasilnya: sabit… tapi melengkung ke arah yang salah.

“Lagi.”

Ia tak berhenti. Sepuluh kali. Dua puluh. Tiga puluh. Tangannya mulai kasar dan lengannya pegal, tapi matanya tetap tajam. Berkali-kali ia menempelkan tangan ke senjata-senjata rusak yang ia buat sendiri—senjata absurd dari logam tak cocok dan kayu busuk—menggabungkannya hanya demi kemungkinan. Harapan.

Untuk menambah kemungkinan berhasil, ia menancapkan kristal biru terang di sisi landasan. Kristal itu tak membuat fusion terjadi, tapi memperbesar kemungkinan hasil bagus.

Namun hasil tetap menyebalkan.

Pedang seperti dayung.

Tombak ujungnya bulat.

Pisau yang mengeluarkan suara peluit tiap disentuh.

“Lagi.”

Tiap kali energi dari skillnya mengalir, Stehl mengerutkan dahi. Hatinya tetap tenang, tapi ada perasaan aneh yang mulai tumbuh—antara frustasi dan obsesi.

Puluhan senjata habis.

Tersisa satu bilah tua yang ia tempa saat masih bodoh, dan lempengan logam sisa dari pintu tua yang gagal ia buat jadi tameng.

Ia mendesah.

Lihat selengkapnya