Lantai 16 tak mengenal belas kasih.
Bau belerang menggantung pekat di udara, menusuk seperti ribuan jarum ke dalam paru-paru siapa pun yang mencoba bernapas terlalu dalam. Uap panas naik dari kawah-kawah lumpur, menciptakan ilusi bahwa tanah ini hidup—dan marah.
Di antara dua batu besar yang menjadi persembunyiannya, Stehl membuka mata. Ia tak langsung bergerak. Matanya menelusuri cakrawala mendung lantai ini, mendengarkan suara desis dan semburan dari kawah-kawah yang mendidih. Hening, tapi penuh ancaman.
‘Masih pagi… atau siang? Tempat ini terlalu gelap untuk ditebak.’
Ia mengintip dari balik celah batu. Dataran terbuka itu masih sepi. Hanya ada tanah keras berkerak, kawah yang mengepulkan uap, dan jejak kaki besar yang tertinggal jelas—arahnya melingkar, membentuk jalur yang anehnya teratur. Seperti... ritual.
Ia menatap jalur itu dalam-dalam.
‘Makhluk sekeras itu... masih makhluk. Kalau punya kebiasaan, bisa dipatahkan.’
Stehl berjongkok, membuka gulungan kecil berisi skema kasar yang ia buat semalam—lingkaran ranjau, garis prediksi jalur langkah, dan satu titik merah di tengah: posisi terbaik untuk serangan penentu. Semua sudah ia siapkan.
Sekarang tinggal menunggu.
Dum.
Satu getaran ringan mengguncang tanah di bawah telapak tangannya. Ia menahan napas.
Dum. Dum.
Suara itu makin jelas. Berat. Dalam. Seolah dunia sedang diinjak oleh sesuatu yang bukan dari dunia ini.
Metal Tortoise datang.
Langkah-langkah berat itu muncul perlahan di ujung celah batu. Metal Tortoise menampakkan tubuhnya yang masif, lebih menyerupai benteng berjalan daripada makhluk hidup. Panjang tubuhnya hampir enam meter, dan tinggi punggungnya setara dengan dua manusia dewasa yang berdiri di atas satu sama lain.
Cangkangnya menghitam, berlapis logam legam seperti baja yang dibakar. Di beberapa bagian terdapat retakan-retakan kecil, bekas pertempuran entah dengan siapa—atau mungkin hanya benturan keras dari lantai ini sendiri. Dari sela-sela cangkang itu, uap tipis mengepul, membuatnya terlihat seperti kawah hidup.
Stehl menahan napas.
Ia melihat kaki-kaki depan makhluk itu yang tebal namun lamban, bergerak dengan pola tetap. Satu langkah… dua langkah… lalu berhenti. Sejenak. Lalu kembali berjalan, persis seperti yang ia perkirakan dari pengamatan sebelumnya.
‘Ia berjalan dalam lingkaran… seolah-olah menapak bayangan jejaknya sendiri.’
Tatapannya menajam.
Jalur itu bukan kebetulan.
Dan tepat di sepanjang jalur itulah, Stehl sudah menanam tiga jenis ranjau.
Pertama, ranjau darat berisi ledakan ringan.
Kedua, ranjau batang besi runcing yang akan menyembur saat diinjak.
Ketiga, dan yang paling ia banggakan: besi jebakan dengan puluhan jarum kecil yang mencengkeram ke dalam begitu tertancap—membuatnya mustahil dicabut tanpa merobek kulit.
‘Luka di kaki depan, meski kecil… akan cukup untuk mengacaukan keseimbangan makhluk berat ini.’
Ia mundur sedikit, bersiap di balik batu.
Pedang legendaris yang tergenggam di tangannya berdenyut perlahan, seperti bernapas. Cahaya ungu samar menyelubungi bilah besi itu, membuatnya tampak bukan buatan manusia. Ia hanya bisa mengayunkannya sekali. Satu tebasan, atau semua sia-sia.
Jantungnya berdetak lebih cepat.
‘Kau cuma punya satu tembakan, Stehl… dan kau tahu itu.’
Dari celah batu, suara retakan terdengar seperti tulang yang patah.
Ledakan kecil mengguncang tanah, dan Metal Tortoise menghentikan langkahnya. Ia mengangkat kaki depan—yang kini berasap. Ranjau pertama meledak tepat di bawahnya, menimbulkan luka bakar pada lapisan bawah kulitnya.