Cursed Anvil: Chaos Tower

Darian Reve
Chapter #10

... Vs Dusk Heralds

Ujung sepatu Stehl menyentuh batuan datar di atas bukit duri. Dari tempat ini, kabut keperakan menggantung rendah, menutupi dasar jalur layaknya tirai perak yang enggan dibuka. Di bawah sana, jalur bekas aliran sungai membentuk jalan setapak sempit yang dibingkai dinding-dinding duri. Tajamnya mengilap seperti barisan tombak yang membusuk pelan dalam kesunyian.

Ia tak berkata apa-apa. Tak ada suara selain desir angin kering yang membawa bau karat dan logam. Tangan kirinya yang masih terbalut perban menggantung di samping tubuh. Yang kanan, perlahan membuka tas kecil dari kulit monster dan mengeluarkan segulung kawat lentur sewarna batu.

Satu persatu, Stehl memasang senar. Ia melompat ringan dari satu ujung bukit ke ujung lainnya, mengikat kawat pada tumpuan batu yang kokoh, memastikan ketegangan cukup untuk menahan tekanan. Di beberapa titik, ia memasang batang besi yang telah ia bentuk seperti busur panjang, lalu menempatkan anak panah raksasa di tengahnya—panah logam berukuran satu meter dengan ujung bergerigi. Semua ini ia lakukan dengan gerakan terukur. Tanpa terburu-buru. Tanpa keluhan.

‘Ini bukan tentang membunuh mereka,’ pikirnya, ‘Ini tentang memastikan mereka tidak bisa naik lebih tinggi.’

Ia menarik napas pelan. Kemudian menoleh ke samping, memandangi kantong kecil yang berisi darah ayam. Cairan itu kental dan menghitam, dibungkus kain rapat. Ia menggigit bagian dalam bibirnya.

Masih banyak yang harus dipasang. Masih banyak kematian yang harus dipersiapkan.

Ia menuruni sisi bukit duri, menyelinap ke jalur sempit yang meliuk di balik formasi batuan dan taring-taring alam yang runcing. Setiap langkahnya nyaris tanpa suara, hanya desir lembut pasir yang terseret sepatu lusuhnya. Di sinilah dia menanamnya—ranjau batang besi berduri, senjata bisu yang akan menyambut mereka dari bawah.

Ia memilih sisi kiri dan kanan jalur aliran sungai kering—tempat yang paling masuk akal untuk menghindar jika panah besar dari atas mulai meluncur. Di situlah kakinya bekerja cepat, memaku batang-batang logam runcing yang siap memancarkan jerat duri dan jarum otomatis ke arah siapa pun yang mencoba berpijak.

Titik demi titik ia tandai dalam benaknya. Ia tak butuh penanda fisik—cukup diingat. Semua disusun dalam pola simetris, mematikan, dan tersembunyi oleh kabut perak yang menggantung rendah.

Setelahnya, ia mendaki kembali. Posisi atas adalah tahta bagi pengamat dan algojo. Dari balik celah duri, ia mengamati panggung itu… jalan sempit, sisi yang menjebak, dan langit kelabu yang menyelimuti semuanya.

Semua sudah siap. Yang belum hanya… waktu yang tepat.

‘Terlalu cepat, mereka bisa curiga. Terlalu lambat, mereka bisa bertahan.’

Stehl menghela napas.

Hanya satu kali kesempatan. Dan setiap milidetik akan menentukan siapa yang masih hidup, dan siapa yang tinggal sebagai nama.

Langkah-langkah berat terdengar samar menembus kabut. Derap kaki yang tegak dan mantap, bukan milik makhluk liar, melainkan manusia. Empat bayangan muncul dari balik tikungan sungai kering, perlahan menembus tirai perak yang menggantung rendah di lantai ini.

Stehl mengamati dari celah duri. Pandangannya tajam, matanya tak berkedip saat mengenali mereka—Dusk Heralds. Sang tank di depan membawa perisai sebesar tubuhnya. Tak ada ragu dalam langkahnya. Di belakang, berserker bertubuh besar melangkah seolah menantang tanah itu sendiri. Mage wanita dengan jubah gelap seperti menyatu dengan kabut, dan terakhir… seorang pria tenang yang berjalan paling belakang sambil mengamati sisi jalur dengan penuh minat. Tharun, si penyair tanaman.

‘Mereka datang... lebih cepat dari perkiraanku,’ batin Stehl.

Eldain berhenti sejenak. Ia menunduk, mengamati jalur kering dan duri di sekitarnya.

“Tidak ada tanda monster. Terlalu tenang,” ucapnya pelan.

Mirceia menjawab dengan nada datar, “Ini hanya lantai sepuluh. Kita bisa melewatinya tanpa membuang energi.”

Suara mereka nyaring, tapi bukan karena teriakan—melainkan karena kesunyian lantai ini. Tak ada angin. Tak ada gemericik air. Hanya langkah dan suara napas.

Stehl bergeming di balik duri. Ia menunggu. Napasnya ditahan. Tangannya menyentuh mekanisme pengikat jebakan panah besar yang menggantung di atas mereka.

‘Dua langkah lagi… hanya dua langkah lagi.’

Tali yang menahan panah raksasa itu bergetar ringan di tangan Stehl. Ujung jemarinya memegang simpul terakhir—satu tarikan, dan semuanya akan dimulai.

Eldain memberi isyarat untuk tetap berjalan, meski raut wajahnya tak menyembunyikan kecurigaan. Ia melangkah lebih dulu ke jalur sempit yang membelah bukit duri. Mirceia menatap ke atas sejenak, namun hanya kabut yang terlihat. Satu demi satu mereka memasuki jalur—tak menyadari bahwa mereka kini menjadi bidak dalam permainan seseorang.

Klik.

Simpul dilepas.

Whuumm!

Suara berat meluncur dari langit. Seperti erangan besi yang meraung menembus kabut. Bayangan besar turun dari atas—panah baja sepanjang satu meter melesat lurus ke arah mereka dengan kekuatan yang tak berasal dari tangan manusia.

“Jatuhkan dirimu!” Eldain berteriak.

Panah menghantam tanah di depan mereka, menciptakan ledakan tanah dan debu. Dua panah lain menyusul dari arah berlawanan, menyilang dan menancap di sisi jalan, membuat celah sempit menjadi perangkap maut. Tharun tergelincir, bahunya tergores serpihan logam. Mirceia berteriak marah dan langsung menciptakan ilusi pertahanan yang melengkung melindungi mereka dari atas.

Bortz justru tertawa. "Akhirnya…! Perang sesungguhnya!"

Namun Eldain tak ikut tertawa. Ia menatap ke atas.

“Seseorang sedang mempermainkan kita.”

Dan Stehl—di atas, masih di balik duri—sudah bergerak ke posisi berikutnya. Permainan baru saja dimulai.

Ledakan sebelumnya belum lenyap dari telinga ketika Tharun, yang mencoba bergerak menyamping mencari posisi bertahan, menginjak tanah yang tampak biasa saja.

Trek.

Suara itu nyaris tak terdengar, tapi cukup untuk membekukan napas Mirceia.

“Tharun, BERHENTI—!”

Terlambat.

Tanah di bawah kaki kirinya runtuh seketika. Dua batang besi runcing melonjak ke atas dengan kecepatan mengerikan, langsung menembus paha dan selangkangannya. Besi pertama menancap dari bawah paha kiri hingga menembus pinggul. Yang kedua menghantam pangkal paha kanan, menghancurkan otot dan menyobek arteri utama.

Tubuh Tharun seketika terangkat, terpaku di udara. Namun belum selesai—batang besi itu bergetar pelan, dan dari sisi-sisinya keluar jarum-jarum kecil yang memanjang dan mencengkeram ke dalam. Logam itu tumbuh seperti duri parasit, mencengkeram daging dan urat, memastikan korban tak akan pernah bisa melepaskan diri.

“ARRRGHHHH!!”

Teriakan Tharun menggema seperti lolongan binatang sekarat. Darah menyembur deras dari luka yang terbuka, menyiram kabut keperakan dan membuat tanah di bawahnya berubah menjadi lumpur merah.

Mirceia kehilangan keseimbangan. Wajahnya pucat. Matanya melebar tak percaya.

“THARUN! BANGS*T—THARUN!!”

Eldain langsung berlari ke arahnya, mengangkat perisainya untuk menahan serangan berikutnya, tapi tangannya gemetar. Ia tak bisa menembus garis yang sudah dirusak ranjau. Terlalu berbahaya.

“Dia akan mati… dia akan mati kalau kita nggak tarik dia sekarang!” jerit Mirceia, tapi mulutnya hampir tak bisa bersuara.

Bortz hanya berdiri membeku. Rahangnya mengatup. Wajahnya gelap, lebih karena kebingungan daripada marah.

“Dia… dia masih hidup?” tanya Bortz ragu.

Tubuh Tharun meronta seperti boneka diikat kawat berduri. Ia tak bisa menjawab. Matanya membelalak. Mulutnya terbuka, tapi yang keluar hanya busa merah.

Dan dari atas sana, di atas bukit duri, Stehl memperhatikan. Diam. Tenang. Menunggu denyut kehidupan terakhir sebelum menuangkan darah pemikat.

‘Jangan dulu,’ bisik pikirannya. ‘Belum waktunya daging itu dipanggil untuk diburu.’

Kabut menebal, aroma darah memanas, dan satu nyawa terombang-ambing di antara keputusan untuk bertahan… atau mengakhiri semuanya.

Setetes demi setetes, darah ayam yang disimpan dalam botol kaca akhirnya membasahi tanah di jalur sempit itu. Cairannya meresap ke pori-pori kering tanah bebatuan dan menguarkan aroma amis yang langsung terbawa kabut tipis ke segala penjuru.

Stehl menahan napas di atas bukit duri. Tatapannya tak berkedip, menanti.

Hening.

Lalu, seperti semburan dari celah dunia yang tak terlihat—dua pasang mata merah muncul dari balik kabut. Disusul dengan tubuh kekar, tinggi seperti manusia dewasa, namun berbulu dan bertanduk. Kelinci bertanduk.

Ia melompat.

Bukan sembarang lompatan. Seperti peluru daging dengan kekuatan otot penuh ledakan. Dalam sekejap, Tharun tersungkur.

“Tharun!”

Eldain berteriak.

Cakar kelinci itu mencengkeram pundak Tharun, dan tanduk runcingnya menancap ke tanah saat ia mendorong tubuh mangsanya jauh ke dalam kabut—semua terjadi begitu cepat, bahkan tak sempat direspon.

“Dia diseret!” teriak Marceia, panik.

Bortz langsung maju. “AKU KEJAR!” Ia menghentak tanah, hendak melompat ke jalur kelinci.

Whuumm.

Panas. Panah besi dari atas menancap lagi di tanah. Diikuti dua kelinci bertanduk lain yang muncul dari sisi jalur.

“Diam di tempat, Bortz!” Eldain mengangkat perisainya, menahan serangan panik dari sisi kanan.

Satu kelinci tertancap di senjatanya, mengerang sebelum roboh. Yang lain berhasil melukai bahu Marceia sebelum sihir gelapnya meledakkan kepala binatang itu.

Asap.

Darah.

Bangkai kelinci yang perlahan mendingin.

Setelah beberapa detik yang terasa seperti menit—segalanya hening.

Eldain terduduk. Lututnya lemas. Ia menatap jalur depan yang kini kosong, tanpa tanda-tanda Tharun.

“Kapten...” Bortz memanggil. Nadanya tegang.

“Perintahmu, Eldain!” Marceia berteriak. Sihirnya masih bergetar di telapak tangan. Nafasnya berat. Matanya liar.

Tapi Eldain hanya menunduk.

Ia tak tahu harus berkata apa.

“Bortz…” suara Eldain parau, nyaris tak terdengar. “Ini… pertama kalinya aku memohon padamu.”

Kepalanya tertunduk. Kedua tangannya gemetar, mencengkeram gagang perisai dengan kuku nyaris patah. Napasnya pendek-pendek, seperti menahan sesuatu yang ingin ia muntahkan — rasa bersalah, marah, dan getir yang saling berebut keluar.

“Temukan…” ia mendongak perlahan, dan mata kelabunya kini basah. “Temukan dalang di balik semua ini! Hancurkan… tapi jangan bunuh.”

Suaranya naik, menggema di antara duri-duri batu dan kabut perak yang mengambang.

“Seret dia ke sini,” katanya, tidak lagi bicara seperti pemimpin, tapi seperti manusia yang kehilangan harapan.

“Kita koyak dagingnya sampai ke tulang—biar dia tahu seperti apa rasanya menjerat keluarga kita!”

Tak ada yang menyela. Mirceia masih berdiri dengan tangan bergetar dan mata liar, sementara Bortz menatap Eldain tanpa berkedip.

‘Aku... aku adalah tembok untuk tim ini…’

Suara hati Eldain melengking di dalam benaknya sendiri.

‘Namun aku tak bisa berbuat apa-apa saat anggotaku dalam bahaya…’

Ia mengepalkan tangan, memukul tanah, dan diam.

---

Di kejauhan, di atas bukit duri yang tajam, Stehl masih diam. Ia tiarap, menahan napas, membiarkan tubuhnya nyaris menyatu dengan bayangan batu. Matanya tak menatap mereka — ia sudah belajar bahwa emosi adalah awal dari kesalahan.

Namun ia tidak bisa mengusir suara itu dari kepalanya.

Rasa sakit mereka.

Kemarahan mereka.

Kehancuran yang ia sebabkan.

Lihat selengkapnya