Cursed Anvil: Chaos Tower

Darian Reve
Chapter #11

Poster Buronan Level S

Aku terlempar.

Tubuhku menghantam tanah keras, lalu berguling di rerumputan lembap yang tak kukenal.

Dingin. Kasar. Terasa jauh dari lantai 10… dan lebih jauh lagi dari kemenangan.

Tanganku—

Sial.

Tanganku… hilang.

Darah masih memancar.

Panas. Lengket. Jantungku berdetak begitu keras hingga seolah menghantam tulang rusuk dari dalam.

Aku ingin pingsan. Muntah. Menjerit. Tapi tak satu pun keluar.

Aku menatap langit.

Tenang. Terlalu tenang untuk dunia yang baru saja menelanku hidup-hidup.

Rumput bergoyang pelan di bawah angin yang tak membawa suara.

Aku benci kedamaian semacam ini—karena aku tahu, itu takkan bertahan lama.

Aku ingin tertidur.

Membiarkan semua ini larut bersama darah yang masih mengalir.

Tapi… aku tak bisa.

Aku masih hidup.

Dan lantai ini… lantai ini akan jadi tempatku berdiri kembali.

Meski satu tangan telah diambil dariku.

Meski rasa kalah masih mencengkeram seperti racun.

Haaah…

Napas berat lolos dari bibirku. Bukan keluhan, hanya semacam… pengingat bahwa aku masih hidup.

Dengan tangan kanan yang tersisa, aku meraba kantong pinggang.

Masih ada kawat baja. Tipis, tapi cukup kuat untuk menahan—

Argh…

Kubungkus pangkal lenganku secepat mungkin, menarik kawat hingga daging terasa meletup di balik kulit.

Tubuhku bergetar. Mataku memanas. Tapi aku tak berhenti.

Bertahan.

Itu satu-satunya kata yang terus menggema di kepalaku.

> “Triing.”

---

[Notifikasi Sistem]

Selamat… Anda telah tiba di Lantai 34.

Akan kulindungi tempat ini. Akan kupastikan mereka tak pernah mencapai puncak.

Karena menara ini… meski terkutuk… tetap rumahku.

Setelah berbaring cukup lama, pendarahan akhirnya berhenti—menyisakan rasa panas dan nyeri menusuk hingga ke tulang.

Aku berdiri. Menatap jauh ke cakrawala, sambil memegangi lengan yang kini tak lagi utuh.

Ada sesuatu di kejauhan. Bangunan? Kota?

Aku tak punya niat menjelajah lebih jauh. Hanya beberapa langkah… cukup untuk memastikan tak ada bahaya di sekitar.

Sunyi.

Angin berhembus tanpa suara, menyapu ladang rumput yang tak bergoyang sekalipun.

Ketenangan yang bukan damai—melainkan kekosongan yang menggantung.

Dalam kepalaku, strategi tetap kususun.

"Harus menyelesaikan lantai ini… lalu kembali turun ke rumah," gumamku.

Kalimat yang segera lenyap, terbawa angin menjadi bagian dari kesunyian.

Kulepas topeng yang menyesakkan.

Membuka jubah yang mulai sobek di beberapa bagian, lalu berjongkok perlahan.

Tanganku masih lelah. Tapi ada rumput yang harus dicabut. Ada tanah yang harus digali.

Satu demi satu kukeluarkan isi tas yang telah usang di pinggangku.

Benih strawberry. Kangkung. Labu.

Lihat selengkapnya