Ah, children, be afraid of going prayerless to bed, lest the devil be your bedfellow.
(Rev. Cotton Mather, 12 Februari 1663 - 13 Februari 1728)
Willem Denier memacu sedan peninggalan kedua orang tuanya menuju timur. Saat ini, jiwa pemuda berambut pirang itu tengah terluka. Beberapa bulan yang lalu, kedua orang tuanya tewas akibat kecelakaan pesawat saat melakukan perjalanan bisnis ke Anchorage, Alaska. Mereka meninggalkan Willem dan adik perempuannya yang baru berusia enam belas tahun, Lydie. Karena usianya sudah 21 tahun, pemuda itu sudah diberi kepercayaan untuk mengasuh adiknya.
Harta peninggalan kedua orang tua mereka cukup lumayan. Tiga juta dolar[1] dalam bentuk investasi, dua juta dolar dalam bentuk tabungan dan deposito serta sebuah rumah besar di pinggiran Vancouver, sudah memastikan bahwa kehidupan kakak-beradik Denier cukup terjamin.
Siang ini, pengacara keluarga Denier, John Beauregard menghubungi Willem dan mengatakan kalau ibu mereka masih memiliki sebuah properti di kota kelahirannya, Night Mute yang berjarak beberapa ratus kilometer di sebelah timur laut kota Vancouver.
Willem memperhatikan pemandangan kelabu berkabut yang ada di luar mobilnya. Saat ini sudah memasuki akhir September. Sejujurnya Willem kurang menyukai musim gugur. Ia selalu merasa musim gugur adalah sebuah musim yang suram dan penuh kesedihan.
Sesaat, pemuda itu melihat ke arah GPS. Walaupun arah yang ditujunya benar, Willem masih tidak merasa yakin. Jalan yang dilewatinya adalah sebuah jalan sepi berlumpur yang tidak terurus. Ia bahkan tidak merasa masih berada di Kanada. Kiri kanannya adalah hutan yang lebat, namun, Willem sama sekali tidak merasakan kehidupan ada di sekitarnya. Tiada rusa dan tupai yang berlarian ataupun suara burung di pepohonan. Angin pun tidak berhembus. Matahari tertutup oleh awan kelabu yang tebal.
Kring ..., kring ..., kring ….
Suara dering smartphone menyadarkannya dari lamunan. Sambil mendesah dan berusaha mengendalikan detak jantungnya yang berdegup kencang, pemuda itu menekan tombol angkat.
“Halo ….” Ujar Willem.
“Mister[2] Denier, selamat siang.” Ujar suara dari dalam telepon. “Saya John Beauregard, pengacara Anda.”
“Selamat siang, Mr. Beauregard.” Jawab Willem. “Apa Anda sudah lama menunggu.”
“Tidak, saya baru tiba sekitar setengah jam yang lalu. Jalan menuju ke kota ini sangat menyesatkan dan terbengkalai. Anda harus berhati-hati agar tidak tersesat.”
“Terima kasih, Mr. Beauregard.”
“Di mana posisi Anda saat ini?”
Willem menengok ke arah sebuah papan petunjuk.
“Saat ini saya baru saja memasuki batas kota Night Mute.”
“Saat melewati pusat kota, teruslah berkendara dan ambillah jalan kecil yang naik ke bukit. Properti keluarga ibu Anda berada tepat di ujung jalan.”
“Baik, terima kasih.”
“Senang hati saya bisa membantu Anda." Sambung John. "Mr. Denier ….”
“Ya?”
“Kumohon berhati-hatilah.” John Beauregard memperingati.
“Terimakasih. Sampai nanti.”
Willem memutuskan hubungan telepon dan mengalihkan pandangannya ke depan kemudi.
“Inikah pusat kota ...?" Gumamnya pada diri sendiri.
Willem mengerutkan dahinya saat ia melewati Balai kota dan pusat bisnis yang hanya berisi toko-toko kecil seadanya. Di sebelah kirinya terdapat rumah sakit dan di sebelah kanannya terdapat sebuah gereja dan perpustakaan. Sedang di belokan jalan sana, terlihat sebuah gedung sekolah yang terlihat suram dan kurang terurus.
“Tidak mungkin, Lydie mau sekolah di sana.” Willem tersenyum.
Saat ini adik Willem, Lydie bersekolah di sekolah asrama Katolik yang cukup terkenal di Vancouver, yaitu Santa Clara. Sekolah itu memiliki sistem asrama, sehingga Lydie hanya pulang beberapa kali saja dalam setahun. Sekolah asrama itu pula yang membuat Lydie cepat pulih dari kesedihannya. Siapa sangka, menghabiskan waktu dengan teman-teman yang baik bisa memulihkan hati yang tengah terluka.
Namun, Willem sangat berbeda dengan adiknya. Pemuda tampan itu sangat tertutup dalam pergaulan. Bisa dibilang, dia tidak pernah punya seorang teman dekat. Willem memang sempat berpacaran dengan seorang gadis bernama Teresa Taylor. Namun, hubungan itu tidak berjalan lama, karena Teresa menganggap kalau Willem adalah orang yang membosankan.
“Maafkan aku, Will.” Ujar Teresa saat itu. “Kau memang cukup tampan. Tapi…, kau adalah pria membosankan yang senang menghabiskan waktu di dalam rumah. Setiap kali aku mengajakmu ke pesta, kau hanya berdiam diri sambil minum diet cola di sudut. Tidak lama kemudian kau pasti mengajakku pulang. Aku bosan. Kau sangat tidak mengerti diriku.”
Kemudian gadis itu meninggalkan Willem yang emosi ketika melihat mantan pacarnya itu sudah menggandeng lengan Jacob Dodgson keesokan harinya.
“Dasar murahan!” Umpatnya saat itu.
Willem Denier memijit pelipisnya. Ingatan akan masa lalu selalu membuat emosinya naik sehingga kepalanya terasa sakit dan berdenyut. Sambil melihat ke sekelilingnya, Pemuda itu membelokkan mobilnya ke sebuah jalan yang menanjak.
Sebenarnya pemuda itu merasa tidak yakin pada jalan yang di tempuhnya. Jalan itu sama sekali tidak beraspal dan sempit. Tetapi karena jalan ini adalah satu-satunya jalan yang naik ke atas bukit, Willem memilih untuk mengambil peruntungannya.
Setelah sekian lama, akhirnya ia melihat sebuah gerbang besi yang hampir seluruhnya berkarat. Di dalam sebuah halaman luas yang berlumpur, terlihat mobil kepunyaan John Beauregard diparkir di dekat sebuah rumah besar yang terlihat suram akibat cat-nya yang berwarna serba gelap.
Willem memarkir mobilnya. Saat membuka pintu, John. Beauregard menyambutnya dengan hangat.
“Mr. Denier, senang akhirnya bisa berjumpa dengan Anda.” Ujar pengacara bertubuh tambun itu dengan hormat.
“Mr. Denier adalah ayahku.” Willem tertawa. “Cukup panggil aku Willem.”
“Baiklah Mr. Willem, terserah Anda saja.” John menganggukan kepalanya. “Mari masuk ke dalam agar kita bisa bicara dengan lebih leluasa.”
“Terima kasih.” Willem berkata sambil berjalan mengikuti pengacara keluarganya itu.
Willem sudah bersiap untuk melihat sebuah rumah tua kotor yang sudah keropos di sana-sini. Tapi saat pintu besar yang terbuat dari kayu itu terbuka, pemuda itu tersentak.