Sosok tubuh itu mengejang hebat bagaikan orang yang terkena ayan. Bahkan dari balik jendela kamarnya, Willem bisa mendengar suara gemeretuk tulang dan juga otot-otot tubuh yang robek.
Kemudian, tubuh yang semula berukuran normal itu, mulai membesar dan berubah ke dalam bentuk dan ukuran yang tidak bisa dipercaya mata. Tungkai kakinya memanjang dan menjadi tiga. Begitu juga dengan kedua lengan dan jemarinya. Secara perlahan, kulit manusianya sobek dan menampakkan bulu-bulu lebat berwarna gelap yang berlumur darah dan nanah.
Sesaat kemudian, tangan sosok tubuh meraih mulutnya dan merobeknya. Dari dalam terlihat moncong panjang yang menyerupai anjing pemburu.
Tidak…! Bukan seekor anjing. Sosoknya lebih menyerupai seekor serigala .… Serigala raksasa yang berjalan dengan dua kaki belakangnya. Yang kulihat ini adalah … werewolf … ! Dia adalah … manusia serigala!
Werewolf itu secara tiba-tiba menengokkan kepalanya ke arah Willem. Dengan jantung berdebar Willem bersembunyi di balik tirai kamarnya dan berharap kegelapan mampu menyembunyikan sosoknya dari mahluk kegelapan yang tengah menatap ke arah jendela kamarnya.
Kemudian werewolf itu mengalihkan pandangannya ke arah bulan dan melolong dengan suara tinggi dan panjang hingga membuat bulu kuduk Willem berdiri saat mendengarnya.
Sial …! Sial …! Sampai kapan dia terus melolong seperti itu …!
Willem yang tidak berdaya hanya bisa menjerit dalam batinnya sambil menutupi kedua telinga dengan kedua belah tangannya. Dengan ketakutan Willem memejamkan mata sambil berharap lolongan mengerikan berhenti.
Harapan Willem terkabul. Werewolf itu menghentikan lolongannya. Sambil menegakkan posisinya, werewolf itu tengadah dan mencium udara di sekitarnya. Kemudian manusia serigala itu menunduk dan berlari dengan empat kaki menyusuri pekarangan dan kemudian melompati pintu gerbang setinggi tiga meter dengan mudah dan tangkas.
Setelah werewolf itu berlalu dari rumah keluarga Craft, Willem menghembuskan napas panjang. Pemuda itu jatuh pingsan akibat shock dan ketakutan.
Malam itu, mejelang pukul satu dinihari, di waktu yang dikenal dengan nama the witching hours, Willem Denier kembali bermimpi.
Pemuda itu mengejapkan matanya saat ia terbangun di suatu tempat di tengah padang rumput yang luas.
“Aku kembali bermimpi rupanya.” Gumam Willem seraya bangun dari tempatnya.
Kemudian, pemuda tampan itu memandang ke sekelilingnya. Walau saat itu tengah malam hari. Suasana di padang rumput itu sangat ramai. Di sekeliling Willem tumbuh hamparan bunga yang indah bercahaya. Di sana-sini, pemuda itu bisa melihat berbagai macam binatang-binatang kecil berterbangan. Beberapa bahkan peri-peri yang cantik. Di tanah berkeliaran berbagai macam binatang-binatang kecil yang lucu.
“Selamat malam, Master Willem Denier.” Sapa seekor tupai yang langsung naik ke telapak tangan Willem, saat pemuda itu mempersilahkannya.
“Hai, siapa namamu?” Tanya Willem sambil menggaruk pipi binatang itu dengan gemas.
“Teman-teman memanggilku Tubby karena tubuhku yang gemuk.” Tupai itu menjawab.
“Hai, Tubby. Senang bisa mengenalmu.” Sapa Willem. “Bisakah kau menceritakan sesuatu tentang tempat ini?”
“Tempat ini adalah dunia yang diciptakan penguasa kami untuk menghibur Tuan Puteri Isabelle.”
“Menghibur?” Willem mengerutkan keningnya. “Apa yang terjadi.”
“Tuan Puteri kami tengah berduka, karena beliau tidak bisa bersatu dengan kekasihnya, Master Cillian Craft.”
“Beliau adalah ayah kakekku.” Jawab Willem. “Apa yang sebenarnya terjadi.”
“Kalau itu, aku tidak bisa menjawabnya.” Tubby berkata dengan sedih. Kemudian tupai gemuk yang lucu itu mengangkat kepalanya dengan gembira seakan telah mendapat sebuah ide yang cemerlang. “Aku tahu! Bagaimana kalau Master sendiri yang menanyakannya pada Tuan Puteri. Beliau pasti merasa senang karena bisa berbicara dengan seorang pemuda tampan berhati luhur seperti Master Willem.”
“Aku?:” Willem tertawa. “Maafkan aku, tapi pakaian sangat tidak layak untuk menemui seorang puteri.”
“Apa Master yakin?” Tubby tertawa. “Penampilan Master saat ini bagaikan seorang pangeran.”
“Apa…?” Willem melihat pakaiannya sendiri. “Hei, kau benar! A-aku tidak pernah mengenakan pakaian semewah ini sebelumnya. Lihat! Pakaian ini dijahit dengan benang emas dan perak.”
“Sekarang, apakah Master bersedia untuk menemui dan menghibur Tuan Puteri kami?” Tubby kembali bertanya dengan kesan memaksa pada nada suaranya yang terkesan lucu. Bahkan, tidak salah kalau dikatakan ada sedikit nada ancaman di dalamnya.
"Hmm .…” Willem mengangguk. “Tentu saja.”
Tubby terlihat sangat gembira..
“Tunjukkan padaku jalannya.” Willem melanjutkan ucapannya dengan penuh semangat.
“Tunggu.”Tubby mencegah Willem untuk berjalan. “Kita belum bisa menemui Tuan Puteri sekarang. Tidak ada pangeran yang berjalan kaki. Mereka selalu mengendarai kuda putih yang gagah.”
Tubby bersiul. Sesaat kemudian, dari keremangan hutan yang ada nun jauh di sana, keluarlah seekor kuda putih yang sudah lengkap dengan tali kekang dan pelana yang terbuat dari kulit berlapis emas.
“Selamat malam, Master Denier.” Sang kuda putih menundukkan tubuhnya memberi hormat. “Sudikah kiranya Master naik ke atas punggung hamba.”
“Kau juga bisa berbicara.” Willem menjadi takjub. Dengan lembut pemuda tampan itu mendekat seraya membelai wajah sang kuda yang kemudian menjilati tangan Willem dengan jinak.