Cursed on the Witching Hours

Roy Rolland
Chapter #4

Wolf in Human Skin

Willem Denier berjalan melewati koridor batu yang berpendar kehijauan. Sesaat pemuda itu menghentikan langkah dan menyentuh dinding di dekatnya. Dinding itu terlapis semacam lumut yang tumbuh halus di seluruh permukaan dinding. Kala di sentuh olehnya, lumut itu menyala lebih benderang dari sebelumnya.

"Mungkin lumut ini bereaksi pada panas tubuh manusia." Gumam Wilem sambil meraba lumut yang terasa nyaman di telapak tangannya.

Kemudian senandung itu kembali terdengar.

Willem kembali melangkah danberhenti sejenak saat melihat sebuah pintu yang sedikit terbuka. Angin berhembus lembut dari sela-selanya, membawa aroma harum bunga yang belum pernah ia cium sebelumnya.

Willem ragu sejenak, sebelum membentangkan pintu lebar-lebar.

Di luar sana, terlihat pemandangan yang memanjakan matanya.

Taman bunga yang benderang terang, bagaikan lampu neon. Bunga-bunga itu bergerak, seiring dengan hembusan angin yang membelainya perlahan. Saat ini purnama bersinar terang dan menggantung rendah di langit tiada berbintang. Ukuran bulan itu sangat besar, sehingga Willem yakin, saat ini ia memang tengah bermimpi.

Di tengah padang bunga, di tengah hujan kelopak rontok yang bergerak mengikuti hembusan angin yang hangat, Willem melihatnya. Dia adalah Isabelle Herlocker. Willem masih mengenjalinya. Wajahnya jauh lebih cantik dari lukisan yang pernah dilihatnya. Isabelle berjongkok dan memetik sekuntum bunga yang terlihat paling cemerlang. Mencium aromanya dan menyelipkan di sela telinga kirinya. Selama itu pula, rambut cokelatnya yang tergerai bergerak lembut, mengikuti setiap gerak tubuhnya yang anggun.

Kemudian Isabelle kembali bangkit dan menatap Willem dengan senyuman manis yang enak dilihat. Willem tidak mampu bernapas, kagum atas kecantikan wajahnya. Kemudian gadis itu melangkah ringan, mendekati Willem yang masih kagum oleh kecantikannya.

Tepat tiga langkah di depan WIllem, Isabelle menghentikan langkahnya. menunduk memberi hormat dengan anggun. Kemudian, Isabelle kembali mengangkat wajahnya dan menatap Willem dengan kedua mata kelabunya yang bulat.

Willem seperti terhipnotis. Tubuhnya seakan bergerak sendiri. Maju mendekati isabelle. Memegang dagu mungilnya dengan lembut dan terarah ke wajahnya. Isabelle kembali tersenyum. Seakan ia mengerti, apa yang diinginkan Willem darinya.

Willem memejamkan mata, saat wajah Isabelle semakin dekat ke wajahnya. Jantungnya berdebar, seiring keinginan yang kuat untuk mendapat hadiah berupa ciuman.

Kemudian ....

Willem Denier membuka matanya.

“Mimpi macam apa itu?” Gumam Willem seraya meraba bibirnya sendiri. “Apa yang terjadi?”

Setelah melihat ke luar jendela kamar yang masih gelap, Willem bangkit dari tempat tidurnya.

Tunggu.

Kenapa aku berada di tempat tidurku?

Aku tidak merasa naik ke atas tempat tidur semalam.

Semalam aku .…

Sesaat kemudian, kejadian tadi malam berkelebat di pelupuk matanya. Saat ia melihat sosok seorang pria yang merobek kulit manusianya dan menampakkan bulu-bulu serigala di baliknya.

Apa semalam …, aku melihat w-werewolf?

Saat memikirkan itu, Willem merasa konyol sendiri.

Daya khayalku memang sangat hebat. Mana mungkin ada werewolf di dalam dunia nyata yang membosankan ini. Iyakan?

Kemudian, Willem teringat pada pistol pemberian John Beauregard.

“Mana pistol itu.” Gumam Willem. “Aku yakin sekali meninggalkannya di kolong sofa yang kutiduri semalam.”

Willem terus mencari pistol itu sampai matahari memancarkan sinarnya.

“Aku tidak bisa menemukan di mana-mana?” Desah Willem dengan kesal. “Yah sudahlah, untuk apa pula aku membutuhkan senjata api di kota sekecil ini.”

Dengan santai, Willem berjalan menuju meja yang ada di samping tempat tidurnya. Kemudian pemuda itu menuang air ke dalam baskom dan menggunakannya untuk membasuh wajah dan tubuhnya dengan handuk kecil yang sudah tersedia.

“Menyegarkan sekali.” Komentar Willem sambil sekali lagi ia membasuh wajahnya dengan air. “Lebih baik aku turun sekarang.”

Sambil bernyanyi kecil, Willem menuruni tangga dan berjalan menuju ruang makan. Saat itu pula, pemuda itu mencium aroma sosis dan kopi dari arah dapur. Seketika itu juga, Willem sadar kalau perutnya sudah sangat lapar.

Willem berjalan menuju dapur sambil berpikir kalau ia akan menemukan Fritz yang tengah memasak. Tetapi, matanya malah melihat sesosok perempuan paruh baya bertubuh tinggi dengan hidung sangat mancung.

“Selamat pagi, Mr. Denier.” Sapa perempuan itu dengan sopan. “Saya harap tidur anda nyenyak tadi malam.”

“S-selamat pagi. Tidurku memang nyenyak.” Willem diam sejenak sebelum meneruskan ucapannya. “Uhm, maaf, Anda ini siapa ya? Sepertinya kemarin saya tidak melihat Anda.”

“Oh, maafkan saya.” Wanita itu menganggukkan kepala sebelum memperkenalkan dirinya dengan sopan. “Nama saya adalah Emma Harlowe. Saya adalah pengurus rumah tangga Anda.”

“Begitu, ya? Siapa yang menugaskan anda?”

“Sebenarnya saya dan Fritz adalah pengurus rumah ini.” Jawab Emma dengan sangat sopan. “Tapi karena tugas utama saya adalah memasak dan mencuci, hal ini membuat peran saya kurang diperlukan. Hanya sesekali saya datang ke rumah ini untuk bersih-bersih. Tetapi sekarang, sejak kedatangan Anda ke rumah ini, saya bisa kembali menjalankan tugas saya untuk mengurus putra keluarga Craft.”

“Tapi saya berasal dari garis darah perempuan.” Willem berkata sambil melihat suasana di dalam dapur yang bersih. “Nama belakang saya Denier dan bukanlah Craft.”

“Baiklah jika memang itu yang anda percaya.” Emma berkata sebelum kembali menekuni pekerjaannya. “Sarapan sebentar lagi akan siap. Bagaimana kalau Anda menunggu di ruang makan.”

“Baiklah kalau begitu.” Willem berkata sambil berjalan keluar dapur. 

Sementara itu kepalanya sejak tadi berpikir akan maksud dari kata-kata Emma Harlowe.

“Tapi saya berasal dari garis darah perempuan. Nama belakang saya Denier dan bukanlah Craft.”

“Baiklah, jika memang itu yang anda percaya.”

“Aku rasa aku hanya terlalu memikirkannya.” Gumam Willem sambil berjalan menuju meja makan. Di sana sudah tersedia serbet dan peralatan makan dan minum untuk di gunakannya. “Lebih baik kulupakan persoalan ini.”

Sambil menuang kopi yang masih panas ke dalam cangkir, Willem berjalan menuju teras. Sambil meminum kopinya sedikit demi sedikit, pemuda itu menatap halaman rumah keluarga Craft yang saat ini tengah di selimuti kabut tipis.

Tit…tit…

Willem melihat ke arah smartphone-nya.

“Sial! Aku lupa men-charge-nya semalam.”

Setelah meletakkan kopinya di atas meja. Willem berlari kecil menuju mobilnya yang diparkir dua puluh meter dari tempatnya berdiri.

“Untung saja aku membawa powerbank, karena aku tidak yakin kalau rumah ini memiliki .…” Willem terdiam saat hidungnya yang sensitif mencium bau amis yang busuk.

Sambil mengendus-endus, Willem berjalan mendekati bau tersebut. Dan kemudian, matanya membelalak saat melihat apa sumber bau amis yang endurnya itu.

Willem melihat ada sobekan kulit berserakan di tanah. Di sekitarnya masih terlihat darah dan rontokan bulu binatang yang berwarna gelap.

Lihat selengkapnya