“Selain itu,” Madison meneruskan ucapannya dengan wajah penuh kengerian. “aku takut kalau kau tetap tinggal di kota ini, kau akan mendapat kutukan.”
Saat mendengar itu, jantung Willem terasa berhenti berdetak.
“Kau pasti bercanda.” Willem memaksakan dirinya untuk tertawa. “Tolong katakan kalau kau ini sedang bercanda?”
Sambil mengembuskan napas panjang, Madison tersenyum.
“Aku memang bercanda. Tapi ….”
Wanita muda berkacamata itu membuka tasnya dan kemudian mengeluarkan beberapa lembar kertas hasil fotokopi.
“Tadi sebelum pulang, aku sempat mencari berita soal keluarga Craft.” Ia menerangkan. “Dari hasil penyelidikan, memang benar, kalau keluarga Craft memiliki hubungan yang erat dengan Isabelle Herlocker yang dikenal sebagai penyihir.”
“Tolong lanjutkan.”
“Seperti yang kau tahu, karena desakan dari Bartholomew Craft, Isabelle Herlocker di hukum mati dengan cara dibakar.” Madison menyerahkan sebuah berita tertanggal tahun 1917. “Penyihir memang dihukum dengan dibakar karena api dianggap bisa menyucikan jiwa.”
“Tapi itu gila.” Ujar Willem. “Bukankah praktek semacam itu sudah ditinggalkan sejak akhir tahun 1600-an?”
“Secara teori, iya.” Madison berkata sambil mengambil sebuah buku tulis tipis dari dalam tasnya. “Tapi praktek semacam itu tidak pernah benar-benar ditinggalkan oleh golongan yang fanatik dan konservatif.”
"Aku baru tahu itu."
“Mari kita lanjutkan.” Madison membuka buku tulis yang dibawanya. “Sebelum kematiannya, Isabelle Herlocker mengutuk seluruh putra dari garis keturunan Bartholomew Craft. Korban pertama adalah adik Cillian Craft, yaitu Thomas Craft. Dia mati akibat dimakan serigala saat tengah berburu pada tahun 1919-an. Korban kedua adalah adik Thomas, Edmund Craft pada tahun 1925, dia mati akibat terpeleset di kamar mandi. Korban ketiga adalah Bartholomew Craft sendiri pada tahun 1932. Kematiannya terjadi saat ia tengah duduk di kebun. Konon, sebagian tubuh dan wajahnya, habis dimakan gagak.”
Madison terdiam saat ia melihat wajah Willem yang pucat.
“Kau kenapa?” Dengan cemas Madison berkata. “Apa cerita ini membuatmu mual? Apa kau mau aku menyudahinya?”
“Jangan.” Willem mengangkat tangannya. “Kumohon lanjutkan.”
“Kematian selanjutnya terjadi pada tahun 1942, 1949 dan 1958.” Madison kembali membaca. “Semua korbannya adalah putra Cillian Craft, yaitu Edgar, Wilbur dan Christopher. Dan kematian mereka semua tidak ada yang wajar. Edgar mati karena hypothermia saat ia tersesat di hutan. Wilbur meninggal saat ia tengah bersembunyi di kolong tempat tidur. Dan Christopher meninggal karena tersambar petir.”
“Bagaimana dengan dengan kakekku, Robert Craft?” Willem berkata sambil minum sodanya seteguk. “Selain itu, bagaimana dengan CIllian Craft sendiri?”
“Cillian Craft meninggal karena kelaparan.”
“Apa yang terjadi?”
“Sebentar .…” Madison membuka buku catatannya yang lain. “Pada tahun 1960, saat berusia 68 tahun, Cillian Craft kembali menikah dengan seorang gadis berusia delapan belas tahun bernama Alice Tremayne. Setahun kemudian, Robert Craft lahir. Malangnya sang ibu, tidak berhasil diselamatkan saat melahirkan. Sejak saat itu, Cillian Craft selalu diliputi ketakutan, kalau putranya, Robert akan menjadi korban Isabelle Herlocker selanjutnya. Maka, Cillian Craft menghabiskan hari terakhir hidupnya dengan bersimpuh di makam Isabelle. Memohon agar Isabelle mau melepaskan kutukan dari putranya.”
“Lalu apa yang terjadi?”
“Bisa kau tebak.” Madison tersenyum sambil membetulkan letak kacamatanya yang melorot. “Cillian Craft meninggal di depan makam Isabelle."
"Itu kematian yang mengerikan." Komentar Willem.
"Beberapa hari kemudian, ada yang membongkar makam Isabelle dan mencuri peti mati dan jenazahnya.”
“Untuk apa ada yang melakukan itu?”
“Entahlah.” Madison meletakkan buku catatannya, mengambil sepotong kentang goreng dari piring dan memakannya. “Mungkin dengan alasan seni sihir dan semacamnya. Penyihir semacam itu disebut necromancer, yang asal kau tahu adalah jenis yang paling menakutkan dan berbahaya. Omong-omong, jasad Isabelle Herlocker yang dicuri masih hilang hingga detik ini.”
“Lalu bagaimana dengan kakekku?”
“Beliau mengurung diri di dalam rumah.” Madison mengambil satu kentang goreng lagi dan menggigitnya. “Pada tahun … tunggu sebentar, 1985 beliau melahirkan anak perempuan, yaitu Mary Craft. Kemudian atas saran seseorang yang tidak disebutkan namanya, beliau dibaptis dengan nama Isabelle.”
“Dari nama Isabelle Herlocker?”
Madison mengangkat tangannya saat ia membuka-buka buku catatannya.
“Kakekmu melakukannya sebagai tanda permohonan maaf dan damai pada arwah Isabelle Herlocker.” Madison berkata. “Rupanya kakekmu percaya dengan begitu, hidup putra keluarga Craft di masa mendatang bisa diselamatkan.”
“Apakah kutukan itu berhasil diangkat?”
“Entahlah.” Madison mengangkat bahunya. “Yang aku tahu, kematian kakekmu terhitung tidak wajar.”
“Apa yang terjadi?”
“Beliau tenggelam di dalam bak mandinya sendiri.” Madison mendekatkan wajahnya ke arah Willem. “Cukup menakutkan, iyakan?”
Willem menganggukan kepalanya.
“Apa kau mau tahu, apa lagi yang aneh?” Madison menambahkan. “Aku sengaja menyimpan keterangan ini sebagai pamungkas.”
“Apa itu?”
“Semua putra keluarga Craft tewas pada tanggal 31 Oktober, yang merupakan tanggal yang sama dengan kematian Isabelle Helocker dan juga hari .…”
“Perayaan Halloween.”
“Aku tidak menyangka kau cepat tanggap, Will.”
“Syukurlah aku berasal dari garis keturunan perempuan.” Willem tertawa gelisah sambil mengangkat garpu dan pisau. “Aku rasa bisa dikatakan kalau aku aman dari kutukan, benarkan?”
“Aku rasa begitu.” Madison berkata sambil memotong steak-nya. "Mungkin ...."
"Aku harus mengalihkan pembicaraan sejenak." Willem tertawa gelisah. "Kalau tidak, aku bisa merinding ketakutan."
"Apa yang ingin kau bicarakan?"
“Hm, omong-omong, apa kau ada rencana setelah ini?” Sambil memotong steaknya Willem bertanya.
“Tidak ada.”
“Apa kau mau, hm … mau nongkrong bersamaku hari ini?” Dengan malu-malu Willem berkata.
“Nongkrong …?” Akhirnya Madison mengerti. “Apa ini artinya kau mengajakku kencan?”
Willem tertawa malu.
“Apa kau mau?” Willem berusaha menyembunyikan grogi-nya dengan memasukkan potongan steak ke dalam mulut. “Bagaimana?”
“Dengan senang hati.” Madison menganggukan kepalanya sambil tersenyum. “Tentu saja aku mau.”
“Kau telah menyelamatkan akhir pekanku, Maddie.”
“Terima kasih, Will.” Madison menatap Willem dengan tatapan lembut. “Aku juga senang kau mengajakku pergi hari ini.”
*****