“Apa Pangeran ingin bertemu dengan beliau?” Pertanyaan Isabelle membuyarkan lamunan Willem.
“B-bertemu dengan Sang Raja…?” Mendadak Willem merasa jantungnya seperti berhenti berdetak.
Isabelle mengangguk dan menunggu jawaban.
“A-aku tidak t-tahu …, sepertinya aku belum siap.” Willem tertawa gelisah. “Aku belum merasa pantas.”
“Tentu saja Pangeran pantas, karena Pangeran adalah pasangan Dinda.” Isabelle menenangkan. “Lagipula, beberapa saat sebelumnya, Yang Mulia Raja Guhaguul, ingin sekali bertemu dengan Pangeran.”
“G-Guhaguul…? Itukah nama Sang Raja?”
Isabelle kembali mengangguk.
“Bagaimana? Apa Pangeran bersedia.” Isabelle kembali berkata. Kali ini dengan nada suara memaksa.
“Hmm .…” Willem masih merasa ragu.
Isabelle terus memandang Willem dengan pandangan memelas. Seketika itu juga, WIllem merasakan sesuatu yang tidak enak di dalam dadanya. Dia bahwa hal yang dilakukannya ini sungguh tidak pantas. Maka Willem pun memantapkan hatinya dan siap menyetujui permintaan Isabelle.
Kemudian .…
Willem Denier membuka matanya.
“Sudah pagi rupanya.” Willem menggosok matanya sambil menatap keluar jendela.
Dengan gerak perlahan, Willem bangkit dari tempat tidurnya dan kemudian berjalan menuju jendela. Dengan pandangan nanar, pemuda tampan itu menatap ke arah langit yang tertutup awan kelabu.
“Cepat sekali pagi datang.” Willem mendesah. “Benci rasanya menghabiskan waktuku di dunia ini. Dunia mimpi jauh lebih berwarna dan juga menyenangkan, sementara dunia nyata hanyalah dunia yang kelabu.”
Sekali lagi Willem mendesah.
“Tapi hari sudah pagi.” Willem bergumam pada dirinya sendiri. “Walaupun aku memaksakan diri untuk tidur, alam mimpi hanyalah padang yang sunyi. Aku harus sabar menunggu.”
Sedetik kemudian, Willem sadar bahwa kata-kata yang diucapkannya bukanlah hal yang wajar.
Aku ini kenapa, sih?
*****
“Hei, Hyun!” Kerrie Kendall dan kedua temannya Debra McCabe dan Judy Greene menghampiri Grace Hyun yang tengah menyendiri di sudut sekolah yang jarang di datangi.
Seperti biasa, Grace Hyun selalu makan siang sendirian. Hanya di temani oleh musik lewat mp3. Gadis itu sangat menyukai band Black Veil Brides. Namun sebenarnya, Grace Hyun tidak terlalu menyukai aliran musik yang dianut BVB. Tetapi, apa mau dikata, sang vocalis, Andy Biersack sangat tampan. Itulah sebabnya, Grace Hyun mulai mengidolakan dan bahkan mengoleksi berbagai macam merchandise BVB, khususnya Andy Biersack.
“Jangan pikir kau bisa kabur dari kami. Bagaimana? Sudahkah kau mengerjakannya?” Tanya Debra dengan nada suara tinggi. “Awas saja kalau kau lupa!”
Grace Hyun langsung mengangguk. Setelah mematikan mp3 player-nya, gadis yang senang mengenakan pakaian serba hitam itu mengambil tiga buah folder plastik dari dalam tasnya. Dengan tangan gemetar, gadis emo berambut hitam panjang terurai itu menyerahkannya pada Kerrie dan teman-temannya.
“A-aku ingat k-kok .…” Tergagap Grace berkata dengan suara rendah.
“Nah gitu dong.” Kerrie tersenyum. “Kalau kau rajin membantu kami mengerjakan PR, mana mungkin kami akan mengganggumu. Iyakan, teman-teman?”
“Pastinya.” Komentar Debra. “Apalagi kalau PR ini mendapatkan nilai yang lumayan.”
“Ah, si bodoh ini salah mengeja namaku.” Tukas Judy Greene seraya menunjukkan lembar PR-nya. “Si bodoh ini mengetiknya Green dan bukannya Greene. Apa dia pikir aku ini pohon? HAH?!!”
Judy Greene menendang paha Grace.
“Sekarang pergilah ke perpustakaan dan kerjakan lagi.” Judy Greene berkata dengan galak. “Kau masih ada waktu sekitar sepuluh menit. Ayo cepat!”
Grace Hyun merapatkan gerahamnya. Kemudian, setelah mengumpulkan keberaniannya, gadis itu menggelengkan kepalanya.
“Apa?” Kerrie, Debra dan Judy saling berpandangan. Sebelum Kerrie melanjutkan ucapannya dengan nada galak. “Sekarang kau sudah berani melawan!”
“K-kau bisa memperbaikinya sendiri.” Grace mengeluarkan sebuah flash disc dan kemudian mengulurkannya pada Judy. “Kau hanya tinggal menambahkan huruf ‘e’ pada akhir nama keluargamu. Seharusnya hal itu tidak merepotkan, iyakan?”
Judy melirik ke arah Kerrie dan Debra, sebelum pada akhirnya ia tersenyum.
“Kalau begitu, sini.” Judy mengulurkan tangannya.
Saat Grace mau menyerahkannya gadis cantik itu menolak dengan halus.
“Grace, Grace, mana sih sopan santunmu.” Dengan bibir masih masih menyunggingkan senyuman Judy berkata. “Bangun dong.”
Grace terlihat ragu sebelum pada akhirnya ia gadis itu bangun dari duduknya dan kembali mengulurkan flash disc berwarna ungu kepada Judy. Dengan gerak perlahan, Judy mengambil flash disc itu. Kemudian, setelah sekali lagi melirik ke arah Judy dan teman-temannya, Grace berjalan menuruni tangga. Baru saja turun beberapa langkah, Grace Hyun merasakan, tubuhnya di dorong dengan keras sehingga gadis itu jatuh dan terpelanting sebelum menghantam ubin dengan keras.
“Hei, kau tidak mati ‘kan?” Debra McCabe menyentuh kepala Grace dengan ujung sepatunya.
“Eh dengar ya …,” Judy Greene berjongkok dan kemudian menjambak rambut Grace. “Kalau sekali lagi kau berani memerintahku, aku tidak akan segan untuk mematahkan kakimu. ‘ngerti!”
“M-mengerti…” Grace berkata dengan suara lemah.
“Sekarang, cepat bangun dan perbaiki PR-ku.” Tukas Judy sambil melepaskan jambakannya. “Kau punya waktu lima menit.”
“T-tolong aku berdiri …, tubuhku terasa sakit sekali.” Tangan Grace menggapai-gapai udara dan kemudian, secara tidak sengaja, tangannya mengenai rambut indah Judy yang berwarna cokelat.
“Aduh…!” Jerit Judy saat merasakan rambutnya tertarik. “Kau ini sengaja, ya!”
Dengan kesal, Judy menendang perut Grace.
“Lancang sekali kau menyentuh rambutku dengan tangan kotormu!” Dengan gemas Judy menginjak perut Grace.
“Aaaawww…!” Grace mengaduh kesakitan.
“Cepat bangun kalau tidak mau kutendang lagi!” Ancam Judy.
Sambil menangis, Grace Hyun bangun dari lantai dan berjalan dengan langkah terpincang-pincang menuju ke perpustakaan. Tidak memakan waktu lama bagi Grace, untuk mengubah rasa sedih itu menjadi benci dan amarah pada Kerrie, Debra dan terutama Judy.
Kemudian sambil memandang beberapa helai rambut panjang Judy yang tersembunyi di tangannya, putri Dr. Steven Hyun itu tertawa.
*****
Tit…tit…tit…tit…
Willem mengangkat smartphone-nya yang berbunyi. Saat ini ia tengah berada di teras sambil membaca fotokopi tesis Madison Hillard mengenai sejarah Isabelle Helocker.
“Lydie, ada apa?” Ujar Willem pada adiknya. “Jarang sekali kau menelepon.”
“Jangan begitu.” Lydie Denier tertawa. “Bukankah kita sering chatting?”
“Aku ini kakakmu, kau harusnya lebih sering meneleponku.”
“Maaf .…” Lydie kembali tertawa. “Omong-omong, bagaimana caranya aku bisa ke Night Mute?”
“Dengan mengendarai mobil.”
“Maksudku bukan itu, bodoh!" Tukas Lydie dengan kesal. “Sepertinya aku tersesat.”
“Biasakanlah menggunakan GPS kalau ke luar kota.”
“Sudah, tetapi entah kenapa sinyalnya lemah sekali.”
“Kau tidak bisa menggunakan GPS karena sinyal lemah, tetapi kau bisa meneleponku dengan lancar dan jelas terdengar?” Willem mengerutkan dahinya. “Aneh sekali.”
“Mana aku tahu?” Ambek Lydie. “Aku bukan teknisi telepon ataupun pakar IT.”
“Ya sudahlah.” Willem berkata sambil memijit dahinya. “Di mana kau saat ini?”
“Aku baru saja keluar dari tol dan tengah menuju ke sebuah kota bernama Greenville.”
“Terus saja ke arah timur laut.” Ujar Willem. “Setelah keluar kota ambillah jalan yang menuju pinggiran hutan. Night Mute hanya berjarak beberapa mil dari sana.”
“Masih jauh, ya?”
“Tidak juga.”
“Baiklah kalau begitu, sampai nanti.” Lydie langsung memutuskan hubungan telepon.
Willem menggeletakkan smartphone-nya begitu saja di meja. Beberapa detik kemudian, pemuda berambut pirang itu baru menyadari sesuatu.
“Bukankah Lydie belum punya SIM?” Willem bergumam pada dirinya sendiri. “Dengan siapa dia pergi?”
Willem langsung menelepon balik adiknya.
“Ada apa lagi?” Tanya adiknya dengan jengkel.
“Jangan gunakan nada seperti itu saat bicara denganku.” Dengan nada datar Willem berkata. “Omong-omong, dengan siapa kau pergi?”