Judith Greene atau yang oleh teman-temannya biasa dipanggil Judy, berjalan masuk ke dalam Figo’s Steak Restaurant. Mata gadis itu berkeliling mencari keberadaan kekasihnya, Lance Goodman.
“Judith.” Panggil seorang pemuda bertubuh kekar yang duduk di dekat jendela. “Di sini.”
Mendengar panggilan itu, Judy menunjukkan wajah cemberut.
“Sudah kubilang jangan panggil aku Judith!” Omelnya ngambek. “Kau seperti ibuku saja.”
“Apa masalahnya?” Komentar pemuda tampan dengan dagu persegi itu. Lance melanjutkan ucapannya setelah meminum cola dietnya beberapa teguk. “Aku suka nama itu.”
“Hhhh, kau payah.” Judy duduk di kursi seraya mengambil buku menu. “Bagaimana kalau kita langsung makan.”
“Haruskah buru-buru? Hari ini akhir pekan dan malam masih panjang. Kita punya banyak waktu, kok.”
“Malam ini kita mau nonton ke Riverton, ‘kan.” Judy berkata sambil melihat daftar menu. “Hm, sepertinya ini enak.”
“Kenapa kita harus jauh-jauh ke Riverton?” Komentar Lance. “Jaraknya satu jam naik mobil dari kota ini. Kenapa kita tidak nonton di Night Cinema saja?”
“Kau mau tahu alasannya?” Dengan kesal Judy menutup buku menunya sebelum ia mengambil smartphone dari dalam kantung celana denimnya yang ketat. “Katakan padaku, film apa yang ingin kau tonton di Night Cinema?”
“She Walks by Night.” Ujar Lance. “Moose mengatakan film itu …”
“Coba lihat ini.” Judy menunjukkan sesuatu yang ada pada layar smartphone-nya. “Bluray dan DVD She Walks by Night sudah diedarkan sejak beberapa tahun yang lalu.”
“Jadi?”
“Aku tidak mau nonton film yang sudah lama di bioskop.” Tukas Judy. “Lagipula, Riverton sudah pakai Dolby Atmos sedang Night Cinema masih menggunakan Dolby Digital. Teknologi itu bahkan bukan berasal dari abad ini.”
“Bahkan saat bioskop itu baru saja dibuka, teknologi itu sudah ketinggalan jaman.” Komentar Lance sambil menggelengkan kepalanya. “Jadi ada film apa di Riverton?”
“Siapa peduli.” Judy mengangkat bahunya. “Yang penting aku bisa keluar sejenak dari kota yang membosankan ini.”
Gadis cantik itu melempar pandangannya ke luar jendela.
“Tidak ada apa-apa di kota ini, selain sekumpulan toko yang tutup satu demi satu karena pindah ke kota lain.” Judy berkata setengah menerawang. “Itulah masalahnya, penduduk kota ini bahkan tidak tidak sudi tinggal di sini. Kota ini tidak pernah ada pembangunan dan jalanan aspal yang rusak tidak pernah diperbaiki. Kalau aku tetap tinggal di sini, maka aku akan…”
Judy Greene mendesah. Seketika itu juga, gadis yang biasanya tegar itu menunjukkan sisi dirinya rapuh. Ia tidak pernah menunjukkan sisi dirinya ini pada siapa pun, selain Lance Goodman.
“Sabarlah. Setelah lulus sekolah, kita bisa mencari pekerjaan di kota lain yang lebih besar.” Lance meraih tangan Judy dan kemudian meremasnya dengan lembut. “Kita juga bisa mengambil peruntungan di Vancouver atau Ottawa. Di mana pun tidak masalah, asalkan kita tetap bersama.”
“Aku tahu.” Judy menyunggingkan senyuman tipis. “Terima kasih karena kau tetap setia selama ini.”
“Apa sih?” Lance tertawa. “Tentu saja aku setia. Kau adalah salah satu gadis tercantik di sekolah.”
“Jauh lebih cantik dari Debra atau Kerrie?”
“Aku tidak tahu soal itu, tapi yang pasti .…” Lance membelai rambut cokelat Judy yang terurai dengan lembut. “Rambutmu jauh lebih indah dari mereka.”
“Aku suka sekali saat kau membelai rambutku.” Judy Greene berkata sambil memejamkan matanya. Sejenak ia menikmati belaian lembut Lance pada rambutnya yang halus dan berkilat bagai sutera. “Lance …, kenapa kau berhenti .…”
Judy membuka matanya.
“Oh, maafkan aku.” Lance menunjukkan sejumput rambut Judy yang rontok di tangannya. Tertawa gelisah. “Mungkin aku membelainya terlalu keras hingga secara tidak sengaja membuatnya rontok.”
“Apa maksudmu? Aku sama sekali tidak merasakan apa-apa, lagipula ..., i-itu tidak mungkin?!” Judy membelai rambutnya sendiri. “Selama ini aku selalu merawat rambutku, jadi rasanya tidak…mungkin …?”
Suara Judy bergetar saat melihat sejumput rambut miliknya berada di sela-sela jemarinya yang lentik. Judy Greene langsung menjerit dan menangis.
“Judith, kau kenapa?” Lance bangkit dari duduknya sambil menatap wajah kekasihnya dengan raut wajah cemas. “Apa kau salah pakai shampoo?”
Lance berjongkok di sebelah Judy.
“H-hei, bagaimana kalau kita ke dokter?” Lance semakin panik ketika rambut Judy kembali rontok begitu saja ke lantai seperti daun-daun kering di musim gugur. “Judith, sepertinya .…”
“Minggir!”
Judy mendorong Lance hingga kekasihnya itu jatuh terduduk di lantai, kemudian ia berlari ke dalam toilet dan menguncinya pintunya.
“Oh my God .…” Judy menatap pantulan wajahnya sambil menggosok kedua matanya yang sudah dipenuhi air mata. Kemudian, gadis cantik itu kembali membelai rambutnya dan seketika itu juga rambutnya itu rontok begitu saja. Entah sudah berapa helai yang rontok karena kulit kepala Judy mulai terlihat botak di sana-sini. Judy Greene kembali menangis. “Mommy …, apa yang terjadi?”
Judy tersentak saat ia melihat ada sesuatu yang mengelupas di atas dahinya lewat pantulan cermin.
Apa ini? Ketombe? Tidak! Tidak mungkin! Mustahil aku punya ketombe!
Dengan hati-hati Judy menyentuhnya. Kemudian, seolah tertarik oleh sesuatu yang tidak terlihat, kulit kepala Judy terkelupas begitu saja hingga menampakkan bagian atas tengkoraknya yang berlumuran darah.
Pengunjung restoran terkejut, saat dari dalam toilet terdengar jeritan histeris.
*****
“Sir, apa yang harus kita lakukan?” Tanya Stuart Aglet pada Jean Baptiste dengan wajah pucat. Suaranya terdengar panik “Jenazah korban, begitu…”
“Kendalikan emosimu itu, Constables[1]!” Tukas Jean Baptiste dengan kesal. “Kalau sikapmu seperti ini, bagaimana mungkin kau bisa mengendalikan warga sipil yang ada di luar sana! Payah!”
Dengan kesal Jean Baptiste menendang kursi yang ada di dekatnya. Kemudian ia berjalan keluar restoran sambil menggerutu.
“Mr. Baptiste.” Madison Hillard yang tengah berdiri di luar menyapa dengan hangat.
“Hai, Maddie.” Ekspresi Jean Baptiste yang kusut langsung berubah hangat. “Bagaimana kabarmu?”
“Payah, aku sangat sibuk di perpustakaan.” Tiba-tiba Madison teringat sesuatu. “Oh, perkenalkan, ini temanku, Will Denier.”
“Aku Willem Denier.” Willem mengulurkan tangannya untuk mengajak Jean Baptiste bersalaman. “Apa kabar, Sir.”
“Anda orang baru di kota ini, ya?” Jean Baptiste memicingkan matanya dengan gaya menyelidik. “Aku tidak pernah melihat Anda sebelumnya.”
“Ya, aku baru datang minggu lalu untuk mengurus properti peninggalan keluarga ibuku.” Willem menjelaskan apa adanya.
“Siapa nama keluarga ibumu?” Jean kembali bertanya.
“Nama lahir ibuku adalah Mary Isabelle Craft.”
“M-Mary…?” Jean Baptiste terkejut. “Berarti kau cucunya Robert Craft.”
“Kau mengenal kakek dan ibuku?”
“Semua orang mengenal mereka.” Jean menjelaskan. “Craft adalah keluarga tertua dan paling terhormat di kota ini. Sayang sekali, sejak kepergian ibumu, kakekmu hanya mengurung dirinya di dalam rumah hingga hari kematiannya.”
“Apa yang terjadi?” Willem menjadi penasaran.
“Tidak banyak. Hanya desas-desus yang tidak jelas kebenaran. Aku menyarankan agar kau tidak terlalu memikirkannya” Jean tersenyum. “Apa kau berniat tinggal lama di kota ini?”
“Sejujurnya aku tidak tahu.” Jawab Willem.
“Menetaplah di sini dan perbaiki perekonomian kota ini.” Setengah bercanda Jean berkata. “Nikahilah Maddie dan beri dia lima orang anak yang .…”
“Lima orang terlalu banyak.” Madison tertawa.
“Jadi kau tidak keberatan soal dia menikahimu?” Goda Jean.