“Ehem…” Trey berdehem saat mendekatkan dirinya pada Lydie. “Malam ini hanya ada kita berdua.”
“Lalu?” Ujar Lydie sambil lalu.
Gadis itu tengah mengetikkan sesuatu pada aplikasi sosmed di smartphone-nya.
“Kau tahu maksudku, ‘kan.” Trey mengangkat kedua alisnya sambil nyengir.
“Maksudmu kita ke kota?” Untuk pertama kalinya Lydie mengalihkan pandangannya ke arah Trey. “Kebetulan tadi saat perjalanan kemari aku melihat bioskop. Nonton, yuk.”
“Bukan itu maksudku, bodoh.” Trey mendesah dengan kesal. “Bagaimana kalau kita langsung beristirahat ke .…”
“Kamar kita masing-masing?”
“Jangan menggodaku, Lydie. Kau tahu apa maksudku.”
“Kalau begitu aku terpaksa menolak.”
“Tapi kenapa?”
“Pertama-tama, kita tidak tahu jam berapa kakakku pulang.” Lydie menjelaskan. “Saat pulang, dia pasti akan mencariku sebelum tidur. Kalau ia memergoki kita tengah berduaan di dalam kamar dia pasti akan menelepon polisi. Kalau kita mengingat berapa usiamu dan usiaku sekarang, kau pasti tidak menginginkan hal itu, iyakan?”
“Lalu, apa yang kedua?” Tukas Trey dengan nada bosan
“Aku pikirkan dulu, ya.” Lydie bangkit dari duduknya sambil mengedipkan matanya.
“Haahhh…, payah!” Keluh Trey sambil mengangkat kakinya dan merebahkan tubuhnya di sofa. “Percuma saja aku datang ke sini.”
Setelah sekian lama hanya melamun sambil menatap langit-langit yang suram, Trey kembali bangkit dan duduk di sofa. Dengan gerak lambat, ia mengambil gitar dan buku catatan yang tergeletak di lantai. Kemudian, selama beberapa jam berikutnya, pemuda berdarah Punjab, India itu mencoba menciptakan sebuah lagu.
“Hm, aku ini memang tampan dan berbakat.” Trey tersenyum puas saat melihat hasil pekerjaannya. “Sekarang ayo kita coba.”
Oooww yeah…
Every night, I thinking of you.
But every single time…
Trey terdiam.
“Hm…, liriknya kurang bagus.” Ujar gitaris itu sambil mencoret liriknya sebaris. “Kira-kira, bagusnya seperti apa, ya?”
Trey masih bekerja selama beberapa saat, sebelum pada akhirnya mendesah kesal karena tidak mendapatkan ide.
“Sial, susah sekali mengarang lirik.” Sambil menggigit ujung pensilnya Trey melirik ke arah jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul 01.15 AM. “Sudah malam sekali. Lebih baik, besok saja aku teruskan.”
Dengan malas, Trey mengatur posisi bantalnya agar menjadi nyaman, kemudian ia merebahkan dirinya di sofa tanpa membuka sepatu bootsnya. Sejenak, mata pemuda yang setengah mengantuk melirik ke arah lukisan Isabelle Herlocker yang digantung di atas perapian.
“Gadis itu cantik juga.” Gumam Trey. “Tubuhnya juga seksi. Berapa usianya, ya? Aku harap lebih muda dariku. Karena …, aku tidak suka pada .…”
Trevor Singh tidak sempat menyelesaikan kalimatnya, karena ia sudah tertidur pulas sambil mendengkur dengan. Pemuda itu lelah setelah menyetir mobil selama berjam-jam.
...............................................
.....................................
............................
.................
.........
*****
Beberapa saat sebelumnya di pusat kota.
“Ah, Mr. Denier, silahkan duduk.” Jean Baptiste mempersilahkan Willem duduk di kantornya. “Apa kau mau minum kopi atau teh?”
“Kopi, terima kasih.”
Jean Baptiste bangkit dari duduknya dan menuangkan kopi yang masih panas ke dalam dua buah mug. Mug yang satu ia letakkan di hadapan Willem, sementara yang satu lagi untuk dirinya sendiri.
“Katakan, bagaimana kabar ibumu?” Tanya Jean Baptiste sambil meminum kopinya. “Sudah lama sekali aku tidak mendengar kabar darinya.”
“Ayah dan ibuku meninggal dalam kecelakaan pesawat ke Anchorage, Mr. Baptiste.” Willem menjawab dengan suara yang hambar.
“Maaf .…” Jean Baptiste dengan prihatin berkata. “Aku sama sekali tidak tahu.”
“Tidak apa-apa, Mr. Baptiste.” Willem memaksakan dirinya untuk tersenyum. “Jadi sebenarnya apa yang ingin anda bicarakan?”
“Sejujurnya… tidak ada.” Jean Baptiste berkata terus-terang. “Hanya saja, kau adalah orang baru di sini dan sebagai polisi, aku harus mengenal semua warga kotaku. Kau mengerti ‘kan?”
“Mengerti, Sir. Tetapi kenapa harus malam ini juga?”
“Karena aku harus begadang semalaman dan kalau tidak ada yang menemani aku pasti akan tertidur.”
“Sepertinya sudah beberapa hari ini tidurmu tidak nyenyak.” Komentar Willem saat melihat kantung mata Jean Baptiste yang melipat dan menghitam.
“Yah…, memang seperti itulah.” Sekali lagi, Jean Baptiste mengambil kopi setelah menghabiskan yang ada di mug-nya. “Sepanjang karierku, aku sama sekali tidak menyangka akan mendapatkan kasus seberat ini. Apalagi kita ada di Kanada. Kebanyakan anggota polisi di sini hanyalah polisi sipil. Masalah ini terlalu berat bagi kota kita.”
“Terutama soal tiga serangan binatang itu?”
“Mungkin itu serangan binatang tapi mungkin juga tidak atau mungkin kombinasi di antara keduanya.” Jean mengangkat bahunya. “Siapa yang tahu?”
“Kombinasi?”
“Ya .…” Jean Baptiste berkata dengan sikap sambil lalu. “Misalnya orang yang memanfaatkan peliharaan yang buas, atau mungkin ..., werewolf.”
Saat mendengar itu, Willem tersedak.
“Hei, kau tidak apa-apa?” Jean Baptiste memicingkan matanya dan menatap Willem dengan sangat saksama. “Apa ada ucapanku yang salah.”
“Tidak …, hanya saja …, werewolf?”
“Aku hanya bercanda.” Tukas Jean Baptiste masam.
Gayanya yang kaku sama sekali tidak menunjukkan kalau ia sedang bercanda.
“Kenapa anda mengatakan itu?” Willem membersihkan kemejanya yang terkena kopi.
“Sepele.” Jean Baptiste kembali mengisi mug Willem dengan kopi. “Pembunuhan itu sangat brutal dan jelas sekali ada kanibalisme di dalamnya. Tetapi, juga ada indikasi kalau pelakunya itu sangat cerdas.”
“Cerdas?”
“Ya, ada beberapa organ yang diambil dengan sangat rapih dan professional.” Jean menjelaskan. “Untung saja kau tidak kuliah kedokteran, karena kau pasti akan langsung aku masukkan ke daftar tersangka.”