Cursed on the Witching Hours

Roy Rolland
Chapter #11

He Who Sits on the Throne

Malam itu, Grace Hyun tertawa sendiri di dalam kamarnya. Gadis itu sudah mendengar berita kematian Judy Greene di dalam toilet Figo’s Steak Restaurant dari ayahnya. Walau di hadapan sang ayah, Grace bersikap sedih, namun dalam hatinya, gadis itu merasa gembira karena berhasil membunuh Judy dengan ilmu sihir yang dipelajarinya.

“Rasakan kau …!” Grace Hyun menutupi mulutnya dengan selimut agar suara tawanya tidak terdengar keluar kamar. “Sudah cukup kalian menjahatiku selama bertahun-tahun. Sekarang aku sudah berbeda. Aku tidak akan pernah bisa ditindas lagi oleh kalian.”

Kemudian, Grace mengambil sebuah foto dari laci meja belajarnya. Dengan gemas ia mencoret-coret wajah Judy Greene dengan spidol permanent berwarna merah. Setelah itu, Grace melingkari kepala Kerrie Kendall dan Debra McCabe sambil menyeringai.

“Kira-kira enaknya apa yang akan kulakukan pada kalian?” Geram Grace dengan penuh dendam.

*****

Willem Denier memandang kepergian Lydie dan yang lainnya hingga mobil mereka meninggalkan pekarangan rumah. Kemudian pemuda itu melihat ke arah jam tangannya.

“Pukul dua dinihari.” Gumamnya dengan kesal. “Mereka benar-benar membuang waktuku.”

Saat ini WIllem tengah tidak tidak sadar. Saat ini pemuda itu tengah dalam pengaruh Isabelle Herlocker. Andai saja Willem sadar, maka sudah pasti ia akan sangat ketakutan.

Pemuda itu berjalan masuk ke dalam rumah. Di sebelah kiri pintu berdiri Fritz dan di sebelah kanannya terlihat Emma Harlowe. Menganggukan kepala sambil tersenyum.

“Madam Herlocker telah menunggu Anda, Sir.” Ujar Emma Harlowe. “Saya sudah merapikan tempat tidur Anda agar Anda bisa bermimpi dengan tenang.”

“Terima kasih Emma.” Willem kemudian mengalihkan wajahnya pada Fritz. “Aku harap anda tidak membiarkan ada siapa atau apa pun yang mengganggu tidurku.”

“Saya selalu melindungi Anda, Sir.” Fritz membungkukkan tubuhnya dengan hormat.

Willem tersenyum seraya berjalan memasuki rumah yang gelap. Saat ini api di perapian sudah sangat kecil dan lilin yang dinyalakan hanya seadanya. Kegelapan memberikan kekuatan lebih pada Isabelle Herlocker. Hal ini membuat mimpi Willem terasa lebih nyata dan lebih memabukkan bagaikan meneguk anggur manis.

Kemudian, Willem Denier membuka pintu kamarnya. Sejenak, matanya memandang ke arah lukisan besar isabelle Herlocker yang tergantung. Saat ini ia tidak merasa takut. Setiap the witching hours, Willem tidak lagi merasa takut. Pada saat ini kepribadian yang lain seolah menguasai dirinya. Dan kepribadian itu sangat kecanduan pada mimpi yang mendatanginya kala the witching hours.

Willem Denier melempar jaketnya ke sofa, membuka selimut dan langsung merebahkan tubuhnya ke tempat tidur tanpa berganti pakaian lagi. Ia sudah tidak sabar. Ia sudah ingin segera terlelap. Ia ingin segera pergi ke dunia ajaib itu. Saat ini, Willem sudah sangat merindukan Isabelle Herlocker. Pemuda itu sama sekali tidak tahu kalau hal yang dilakukannya ini akan membawa petaka di kemudian hari.

*****

Keesokan harinya, di Pastore Motel.

“Trey, apa kau sudah bangun.” Lydie mengetuk pintu kamar Trey pada pukul dua siang. “Ayo cepat bangun! Trey!”

“Masuk saja.” Gumam Trey dengan suara yang tidak jelas.

“Aku masuk ya.” Lydie membuka pintu.

Di dalam kamar yang gelap terlihat Trey masih berada di tempat tidur sambil menutupi wajahnya dengan bantal.

“Hei, hari sudah siang.” Lydie menyalakan lampu. “Ayo bangun!”

“Diam, deh.” Gumam Trey dengan nada malas. “Ini semua kan salahmu karena mengajakku mengobrol dengan si polisi itu hingga semalam suntuk.”

“Tapi kan kita sudah sampai di hotel pukul enam.” Lydie berkata sambil membuka tirai jendela.

“Aku ini tidak sepertimu.” Gerutu Trey sambil bangkit dari tempat tidur. “Sejak dulu aku ini sulit sekali untuk tidur.”

“Apa kau mau aku membiarkanmu tidur lagi.” Lydie berkata sambil duduk di sisi tempat tidur.

“Apa kau mau menemaniku?” Dengan lemah lembut, Trey membelai rambut cokelat Lydie yang halus dan panjang.

“Tidak mau.” Lydie menggelengkan kepalanya. “Kalau kau memang sayang padaku kau harus mau menunggu.

“Sampai kapan?”

“Menurutmu?” Lydie tersenyum. “Kau tidak berniat putus denganku, ‘kan?”

“Aku tidak mau pisah denganmu.” Trey membelai pipi Lydie yang halus dengan punggung tangannya. “Apa perlu aku menikahimu sekarang?”

“Nanti saja, kita masih banyak waktu.” Lydie bangun dari duduknya. “Apa kau masih mau tidur? Aku mau kembali ke rumah untuk mengambil koperku yang tertinggal.”

“Tunggu.” Trey berkata sambil mengucek matanya. “Setelah cuci muka, aku akan mengantarmu.”

“Terima kasih.” Lydie mengecup pipi Trey. “Oh, jangan lupa menggosok gigimu. Napasmu itu bau sekali.”

“Aku pasti melakukannya.” Tukas Trey seraya bangkit dari tempat tidur. “Kau tidak perlu mengatakannya sekeras itu.”

“Memangnya kenapa?”

“Itu sangat melukai kepercayaan diriku.” Ujar Trey sambil membuka pintu kamar mandi dan menyalakan air di wastafel. “Terkadang aku merasa kalau diriku yang lama masih menghantuiku.”

Trey mematikan keran air dan memandang pantulan wajahnya sendiri pada cermin.

“Terkadang lelah rasanya bersikap seperti Trey.” Trey berkata. “Dalam hatiku aku masih merasa kalau aku hanya Trevor Singh.”

“Hei,” Lydie berjalan menghampiri Trey. “Trey dan Trevor Singh adalah orang yang sama. Aku tahu itu. Karena aku sudah mengenalmu dari sebelum kau bergabung dengan band.”

“Saat itu aku hanya menghabiskan waktuku di warnet sambil main game online.”

“Tapi aku juga melihatmu saat kau bermain gitar di dekat stasiun.” Lydie berkata sambil memeluk Trey dari belakang. “Kau adalah gitaris yang berbakat.”

“Alasanku melakukannya hanyalah untuk mencari uang lebih agar bisa mendapatkan item langka dan mahal dalam game.” Trey berkata dengan lirih.

“Aku tidak peduli apa motivasimu. Menurutku kau sangat berbakat. Itulah sebabnya aku memintamu bergabung dengan band saat mereka membutuhkan gitaris. Dan ternyata, telingaku tidak salah, ‘kan?” Lydie mengeratkan pelukannya sambil membenamkan wajahnya di punggung pacarnya. Sesaat kemudian gadis cantik itu tertawa. “Kau sangat bau keringat, sepertinya kau harus mandi.”

“Hm…” Trey mendesah. “Kau ini kelewatan.”

“Maaf. Ini bukan berarti aku tidak suka pada bau badanmu, tapi…” Lydie melepaskan pelukannya. “Aku heran, bagaimana mungkin kau bisa berkeringat di cuaca sedingin ini.”

“Aku 'kan tidak tidur di luar.” Ujar Trey sambil membuka lemari kaca dan mengambil sikat dan pasta gigi. “Di dalam kamar terasa panas.”

“Kalau begitu turunkan suhunya.” Komentar Lydie sambil berjalan keluar kamar mandi.

“Aku tidak suka dingin.”

“Kalau begitu jangan tinggal di Kanada.” Tukas Lydie. “Tinggallah di Meksiko atau di…”

“Kalau aku pindah ke Meksiko, apa kau mau ikut?” Tanya Trey setelah berkumur.

“Bagaimana dengan band-mu?”

Lihat selengkapnya