Ting … Tong .…
Sambil tertawa riang, Debra McCabe membuka pintu dan menyambut kekasihnya, Jason Weary dengan mesra.
“Hei-hei jangan mendesakku begini.” Jason tertawa. “Aku belum siap.”
“Apa peduliku.” Sambil mengerling nakal Debra berkata. “Rumahku kosong selama seminggu penuh. Jadi kita bisa .…”
Debra kembali tertawa. Telunjuknya dengan genit menyusuri dada Jason yang bidang.
“Kalau begitu, apa lagi yang kita tunggu.” Jason menempelkan dahinya pada dahi Debra.
Sambil membisikkan kata-kata manis, Jason berjalan masuk ke dalam rumah dan menutup pintu. Keduanya sama sekali sadar, kalau mereka tengah diintai oleh sesuatu yang bersembunyi di kegelapan.
*****
Sementara itu di tengah kota.
“Jadi apa yang akan kau lakukan, Will?” Tanya Madison dengan cemas. Tangannya meremas tangan Willem yang dingin.
“Aku harus kembali.” Ujar Willem. “Kau pasti ingat ceritaku, saat aku melihat ada seseorang yang berubah jadi werewolf. Aku tidak mau kalau dia meneror dan menyakiti kalian.”
“Aku yakin werewolf itu adalah tukang kebun tua yang menakutkan itu.” Trey bergidik. “Dia sangat tinggi dan kekar.”
“Maksudmu, Fritz?” Willem berpikir sejenak. “Aku juga mencurigainya. Selain itu, aku curiga kalau Emma Harlowe adalah seorang penyihir.”
“Tunggu…!” Madison mengangkat tangannya. “Namanya Emma Harlowe?”
Willem menganggukan kepalanya. “Apa ada masalah?”
“Sebentar!” Madison membuka sebuah buku dan kemudian menunjukkan sesuatu di dalamnya. “Isabelle Herlocker mempunyai seorang pengikut yang konon juga berfungsi sebagai pengasuh dan penjaganya. Dia bernama Emma, Emma Harlowe tepatnya.”
Dengan jantung berdebar, Willem melihat sebuah lukisan yang ada di dalam buku yang ditunjukkan Madison Hillard.
“Shit ...!” Umpat Willem dengan kesal.
“OMG .…” Lydie terkejut saat melihatnya.
“Sonuva…”
“Trey …!” Willem mengerutkan dahinya.
“Maafkan aku .…” Trey mendesah. “Seharusnya aku tidak mengumpat seperti itu.”
“Bukan itu maksudku." Potong Willem. Bukankah istilah yang lebih cocok…”
“Sudahlah!” Tukas Lydie. “Yang terpenting adalah, bagaimana mungkin perempuan sialan itu ada di dalam lukisan kuno ini. Berapa usianya?”
“Entahlah .…” Madison melihat ke arah lukisan Emma Harlowe. ”Kalau dia wanita normal, bukankah dia sudah mati sejak seratus tahun yang lalu, iyakan?”
“Berhenti menakutiku.” Trey berkata sambil memasukkan sepotong kentang goreng ke dalam mulutnya. “Will, listen to me, man. Jangan kembali ke rumah itu!”
“Apa kau tidak dengar ucapanku barusan?” Willem mengerutkan keningnya. “Apa kau mau diburu werewolf di dunia nyata!?”
“Lalu apa yang akan kau lakukan?” Trey berkata dengan sengit. “Kembali ke rumah itu? Dimana ada penyihir, hantu dan werewolf mengintaimu di setiap sudut ruangan? Jangan gila!”
“Aku tidak merasa terancam oleh mereka.” Sambil memegang dagunya Willem berpikir. “Aku pikir, mereka sangat membutuhkan bantuanku untuk melakukan sesuatu. Jadi untuk sementara waktu, aku adalah orang yang paling aman di kota ini.”
“Setelah berhasil memanfaatkanmu, kau pasti dibunuh.” Tukas Madison. “Apa kau lupa, kalau kau berasal dari garis keturunan Bartholomew Craft? Pendek kata, kau adalah keturunan dari musuh bebuyutan mereka.”
“Aku tahu, tapi seperti kataku tadi.” Willem bangkit dari duduknya dan kemudian meminum cola-nya sampai habis. “Untuk sementara aku aman. Trey, kau bisa ‘kan mengantarku pulang?”
“Jangan mengatakan pulang.” Tukas Trey. “Rumah keparat itu sama sekali bukan rumahmu.”
“Biar kami ikut denganmu?” Ujar Madison dan Lydie nyaris bersamaan.
“Tidak perlu.” Cegah Willem dengan suara tegas. “Terlalu bahaya. Lebih baik kalian tetap di sini dan mencari cara untuk mengatasi persoalan ini. Trey, ayo kita pergi.”
“Aku tidak perlu turun dari mobil, ‘kan?”
“Kau cukup mengantarku sampai gerbang.” Tukas Willem. “Ayo cepat.”
“Aduh, kenapa aku menganggap hal yang akan aku lakukan ini bodoh sekali.” Trey mendesah seraya bangkit dari duduknya.
“Kami akan kembali ke perpustakaan.” Madison berkata. “Siapa tahu ada sesuatu yang terlewat oleh kita.”
“Baiklah." Willem mengangguk. "Tolong ya.”
*****
Sementara itu, kembali di kediaman keluarga McCabe.
Jason dan Debra tengah berada di dalam kamar, saat bel berbunyi.
“Siapa sih?” Jason berkata sambil bangkit dari tempat tidur.
“Jason, tunggu!” Debra berkata. “Kita tidak tahu siapa yang datang. Bagaimana kalau ayah dan ibuku kembali karena ketinggalan sesuatu. Lebih baik aku yang buka pintu.”
“Apa kau yakin?” Jason melihat jam dinding. “Siapa tahu ternyata orang lain? Bagaimana kalau orang jahat?”
“Di kota kita mana ada orang jahat.” Debra menenangkan.
“Lalu bagaimana dengan kematian yang meneror kota kita akhir-akhir ini?”
“Itu serangan binatang, 'kan?”
“Lalu kematian Judy?”
“Bisa saja gara-gara keracunan makanan.”
“Bagaimana dengan Julie?”
“Itu kecelakaan karena dia jatuh dari tangga, remember?”
“Kau terlalu tenang, Deb.”
“Jangan takut.” Debra duduk dipangkuan Jason sambil menyilangkan kedua lengannya di belakang leher kekasihnya. “Mana ada sih binatang buas yang bisa menekan bel?”
Ting … tong …!”
Debra mendecakkan lidahnya dengan kesal.
"Sekarang aku benar-benar harus membukanya.” Gadis itu beranjak dari tempatnya.
“Kalau ada apa-apa, teriak saja oke.” Jason menyiapkan sebuah pemukul criket kepunyaan Debra. “Aku akan memukul keparat itu tanpa ampun!”
“My hero.” Debra tersenyum kecil sebelum berjalan keluar kamar.
Ting … tong …!
“Tunggu sebentar.” Seru Debra seraya mempercepat langkahnya.
Ting … tong ….!
“Sudah kubilang, tunggu seben ….” Debra tidak sempat menyelesaikan kalimatnya karena, saat gadis itu membuka pintu, tidak ada seorang pun di luar. “Apa? Sepertinya tidak mungkin…? Jason juga mendengarnya …. Jadi …, bagaimana mungkin?”