Langit malam menggulung kelam, angin berdesir membawa bau logam dan tanah basah. Di antara lorong-lorong sempit kota tua, seorang perempuan berlari tertatih dengan napas tersengal, menggenggam erat bayi yang terbungkus kain kelabu. Darah mengalir dari lengannya, membasahi bagian depan bajunya, tapi ia tidak berhenti.
Langkahnya membawanya ke rumah kecil di ujung gang. Ia membuka pintu dengan gemetar, langsung mengunci tanpa menoleh.
“Kaien...” panggilnya lirih. “Sayang, kamu di mana?”
Seorang bocah lelaki muncul dari balik pintu kamar, matanya membesar melihat ibunya yang penuh darah.
“Ibu... Ibu kenapa? Siapa itu?” Bocah itu menunjuk bayi yang menangis pelan dalam gendongan ibunya.
“Tidak sekarang, sayang. Tidak sekarang.” Perempuan itu mendekap bocah bernama Kaien dengan satu tangan, lalu membimbingnya ke arah lemari kayu tua di pojok ruangan.
“Kamu harus sembunyi di sini. Jangan keluar sampai ibu bilang. Jangan bicara. Jangan menangis. Apapun yang kamu dengar, Kaien, kamu tetap di sini.”
“Tapi Ibu—kenapa Ibu bawa bayi itu? Ibu berdarah... Ibu takut... Ibu kenapa?”
Perempuan itu tersenyum, tapi ada kesedihan yang tajam di matanya. “Bayi ini tidak bersalah. Sama sepertimu.”
Kaien belum sempat bertanya lagi saat suara langkah-langkah berat terdengar di luar. Ibunya menutup pintu lemari perlahan dan menguncinya dari luar.