Ada hangat yang menyelinap pelan ke dalam kesadaran Lyra. Bukan kehangatan matahari pagi atau selimut tebal, tapi kehangatan samar yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Di hadapannya, kabut tipis menggantung di udara, dan suara detak jantung berdentum pelan—terlalu pelan untuk nyata, terlalu nyata untuk ilusi.
Ia berdiri di tengah ladang bunga liar yang diterpa cahaya jingga. Di kejauhan, seorang perempuan berdiri membelakanginya. Rambutnya panjang terurai, gaunnya putih berkibar pelan diterpa angin. Kedua tangannya bertumpu lembut di atas perut yang membuncit. Ia mengandung. Di sampingnya, seorang pria muncul dari balik kabut. Wajahnya tak jelas, hanya siluet tubuh tegap dan langkah penuh antusias. Lelaki itu tertawa kecil, memeluk perempuan itu, lalu mencium perut sang calon ibu dengan penuh kasih. Tak ada suara, tapi Lyra merasa seluruh adegan itu berbicara dengan jiwanya. Sebuah ikatan yang hangat. Bahagia. Namun, terlalu asing baginya.
“Siapa mereka?” gumam Lyra tanpa suara. Tapi tak ada yang menjawab.
"Aku tidak sabar melihat matanya," bisik suara itu. Aneh, hangat, tapi tak dikenal. "Kalau anak perempuan, akan kupanggil... Kaienara."
Perempuan itu tersenyum, tapi ada luka dalam tatapannya. Sebelum Lyra bisa mendekat, bayangan itu terpecah—seperti kaca yang dilempar ke lantai marmer.
Lyra tersentak bangun. Napasnya tercekat, tenggorokannya kering seperti debu. Cahaya putih dari langit-langit rumah sakit menyilaukan matanya. Suara mesin detak jantung berdenting lemah di samping ranjang. Saat ia mengangkat tangan, perihnya luka membuatnya meringis.
Tangan kirinya diperban. Kakinya digips ringan. Kepalanya dibalut kasa, terasa nyeri saat disentuh. Tapi semuanya tidak penting.
"Diandra..." bisiknya pelan, nyaris tak terdengar. Kepalanya masih berat, tapi ia memaksa duduk. Ruangan itu kosong, hanya satu ranjang—berarti Diandra tak ada di sana.
Pintu terbuka. Seorang perawat masuk sambil membawa clipboard. Perempuan paruh baya dengan wajah ramah namun tergesa-gesa.
“Kamu sudah sadar, Nona,” katanya sambil memeriksa infus. “Bagaimana perasaannya?”
“Teman saya… Diandra… dia…” suara Lyra bergetar.
Perawat itu tampak ragu sejenak, lalu menghela napas.
“Temanmu kehilangan banyak darah. Sekarang sedang ditangani di ruang ICU. Tapi sayangnya, golongan darah O sedang kosong. Kami sudah minta bantuan dari pendonor, tapi…”
“O…” gumam Lyra. “Kalau begitu saya saja. Saya bisa donor. Papa saya O, mama saya A, jadi kemungkinan besar saya juga O.”
Perawat tampak ragu. “Tapi Anda baru sadar, Nona.”
“Saya nggak peduli. Saya kuat. Tolong, periksa saja darah saya. Mungkin O juga. Papa O, Mama A. Saya bisa bantu.”