Tengah malam dini hari terjadi kebarakan hebat di desa Alue Pineung. Kobaran api dengan cepat merambat di rumah penduduk yang di dominsai bangunan dengan kontruksi kayu. Suara takbir bergema diantara teriakan masyarakat yang membantu memadamkan api dengan berbagai usaha yang mereka bisa lakukan.
Syaifullah berteriak histeris saat melihat api sudah membubung tinggi dari arah belakang rumahnya. Saat si jago merah melalap rumahnya, lelaki itu justru tengah ikut membantu masyarakat di desa Keudeh Peurlak, desa yang berbatasan langsung dengan desa Alue Pineng yang juga terbakar. Ahmad, tetangganyalah yang mengabari bila rumahnya juga terbakar. Mendengar kabar itu, Ia langsung menerebos kerumunan orang-orang dan segera berlari menuju rumahnya.
Bagai orang kesetanan, Syaifullah langsung mengambil air dari sumur yang berada di samping rumahnya. Ia menyiram ke arah rumah berkali-kali dengan sekuat tenaga. Para tetangga juga membantu. Namun, angin yang bertiup kencang dari arah Barat tambak membuat api berkobar kian parah. Pada saat menimba air dari sumur, tiba-tiba Syaifullah teringat istrinya.
“Mana istriku, mana istriku?” teriaknya di antara kerumann orang yang masih sibuk membantu memadamkan kobaran api. Orang-orang yang sibuk membantu terdiam sesaat. Mereka saling pandang, teringat akan Aminah.
“Kami tidak ada melihat makcik Aminah dari tadi, bukankah, Makcik ikut bersama Pakcik melihat kebakaran di desa sebelah?” Ucap pemuda yang memanggil Syaifullah tadi.
“Tidak, saya pergi sendiri,” Jawab Syaifullah dengan panik.
Kobaran api sudah menghabiskan setengah bagian rumah Syaifullah. Saat lelaki itu sedang mengambil ancang-ancang untuk menerobos kobaran api demi mencari istrinya. Dua orang laki-laki yang berada di dekatnya, langsung mencegah, dengan memegangi kedua lengannya.
“Lepaskan tangan saya, saya harus menolong istri saya, “ Syaifullah meronta-ronta. Ia berusaha melepaskan diri dari cengkraman kuat dua lelaki itu.
“Keadaan api yang semakin tinggi, tidak mungkin lagi untuk diterobos, Syaifulah! Kamu bisa mati sia-sia.” Ucap Geucik Alue Pineng tegas saat melihat dua lelaki yang memegangi Syaifullah mulai kesusahan.
“Tapi, Pak Geucik, bagaimana keadaan istri saya, tadi saat saya berangkat ke desa Kuedeh Peurlak, dia sedang tidur, saya yakin, dia tidak menyadari ada kebakaran.” Ucap Syaiful. Tangisannya melengking memecah langit. Dua orang laki-laki yang memegangnya tadi, melepaskan perlahan genggaman mereka. Baru kali ini, mereka menyaksikan seorang suami menangisi istrinya sedemikian dalam.
“Apinya sudah tinggi, Ful, bahkan panasnya terasa sampai jarak sejauh ini. Asapnya juga sudah mengepung seisi ruangan rumah. Lihat! asap hitam sudah membubung tinggi dari arah jendela samping.” Ucap Bardan Sahidi, tetangganya, sambil menunjuk ke arah jendela sebelah kanan rumah yang sudah penuh kobaran api.