Sebuah panggilan masuk berbunyi di Hand Phone Nokia milik Yeben. Nama ibunya tertera pada layar berwarna kuning di perangkat selurernya. Lelaki itu segera menyudut ke arah dapur lalu mengangkat panggilan telepon. Selama bertugas di Aceh, baru dua kali Yeben berkomunikasi dengan ibunya. Pertama saat dia sampai di Bandara Sultan Isakandar Muda, dan yang kedua, sesaat setelah sampai di Peurlak. Yeben sulit menghubungi ibunya karena jaringan telekomunikasi di kawasan Aceh Timur sempat putus total. Sebuah tower menara konvensional 4 kaki di daerah ini dirubuhkan oleh orang tidak dikenal.
“Haloo, Ma, Apa kabar?”
“Kabar, baik, sayang, Kamu bagaimana kabarnya di Aceh?” Suara ibunya terdengar khawatir.
“Baik, Ma, Keadaan disini tidak terduga, kadang aman kadang, kadang bahaya,” Yeben menjawab dengan nada santai.
“Kamu hati-hati disana ya, Ben. Jangan lupa selalu berdoa pada Tuhan Yesus agar di beri perlindungan.”
“Siap, Ma.”
“Oh, Iya, kapan selesai masa tugas di Aceh?”
“Belum tahu pasti, Ma. Rencana awal, pasukan Brimob dari Kepala Dua hanya ditugaskan selama 1 tahun. Tapi, Yeben dengar informasi terbaru, karena ditetapkannya status Darurat Militer di Aceh, bisa jadi waktunya ditambah lagi, Ma.”
“Apa?” Nada suara ibunya terdengar terkejut. “Ben, kok, Mama jadi takut ya, kalau kamu lama-lama di sana.”
“Doakan kami semua selamat, ya, Ma, selama bertugas di sini,”
“Itu pasti, Nak. Oh iya, Ben. Zesika sudah sampai di Jakarta, Kamu ingat Zesika kan?”
“Pasti ingat dong, Ma. Kami kan teman sedari kecil,”
“Oh, ya, Mama lupa, kirain, cuman mama aja yang sahabatan dengan Mamanya Zesika,”
“Jadi, ada apa dengan Zesika, Ma?”
“Zesika sedang libur kuliah di Indonesia, Mama ingin sekali kalian bisa bertemu.”
“La, kan, Yeben dengan Zesika sering jumpa, Ma. Setiap minggu pas selesai ibadah di gereja juga ketemu,”
“ Mama ingin menjodohkan kamu dengan gadis itu,” suara ibunya terdengar sangat ceria.
“Apa, Ma?” Yeben terkejut. Suaranya, mengejutkan Komandan Pos yang tengah membuat protab baru di ruang tengah pos Satgas BKO.