Saifullah diambil sumpahnya oleh Panglima Teungku Said Abdullah sebagai anggota GAM wilayah Peurlak tepat disaat keponakannya, Nazarudin menerima dua lembar ijazah Aliyahnya. Satu lembar ijazah yang dikeluarkan oleh Pesantren Ulumul Quran dan satu lembar ijazah pengetahuan umum yang dikeluarkan oleh dinas pendidikan kabupaten Aceh Timur. Walau usianya telah mendekati kepala empat, Syaifullah sangat gigih saat berlatih. Ia sangat serius saat belajar memantik senjata. Bidikannya pada papan objek selalu mengenai sasaran dengan tepat.
Semangatnya saat berlatih olah fisik jauh melampaui anggota lain yang masih berusia muda. Tengku Said Abdullah berdecak kagum saat mengetahui Syaifulah memiliki kemauan dan komitmen yang besar selama menjadi anggota di wilayahnya. Panglima berkulit putih dengan tinggi semampai itu membaca ada aura duka yang mendalam dan dendam yang menganga di balik semua prestasinya itu.
Pada malam hari, pencahayaan di markas wilayah Peurlak terlihat remang-remang. Penerangan di tempat itu hanya bersumber dari cahaya lampu petromak yang diletakan di beberapa titik di lokasi itu. Syaifullah bergegas melebarkan langkahnya menuju ruang bercat hitam yang berada di ruang paling belakang markas itu. Jatungnya berdegup tidak seperti biasanya, baru kali ini, sejak enam bulan lalu ia direkrut menjadi anggota, Panglima Komandan memanggilnya secara empat mata.
“Silahkan duduk, Pakcik,” Teungku Said Abullah mempersilahkannya masuk setelah menjawab salam dari Syaifullah.
“Terima kasih, Tengku,” Suara Syaifullah terdengar gugup, Ia lalu menarik kursi coklat yang merapat ke meja kerja panglima komandan itu.
Teungku Said Abdullah menatap lelaki yang duduk di depannya dengan cermat. Ia lalu mengambil sebuah bundel biru berisi berkas di atas meja kerjanya. Tatapannya kini berpindah kepada isi berkas itu. Sambil menyulut sebatang rokok, lelaki muda itu membuka kertas-kertas yang terselip di bundel biru itu. Suara halaman kertas yang dibuka lembar demi lembar terdengar kentara. Syaifullah tiba-tiba dihinggapi rasa cemas.
“Nazarudin bin Syafaruddin adalah keponakanmu?” tanya Teuku Said Abdullah sambil menatap ke arah Syaifullah.
“Iya, benar, Teungku,”
“Saya mendapat informasi bahwa pemuda itu sangat cerdas, wawasannya luas, dan ternyata, ia menguasai berbagai bahasa,” ucap panglima itu sambil membaca lagi biodata singkat Nazarudin dari selembar kertas yang ditariknya paksa dari bundel biru itu.
“Benar Teungku, keponakan saya itu, bisa bahasa Arab, Inggris, dan Libya,” Syaifullah menjelaskan dengan semangat. Ada rasa bangga yang tiba-tiba muncul di ruang hatinya.
“Saya ingin, anak muda itu ikut bergabung bersama kita,” Teungku Said Abdullah menatapnya dengan tatapan tajam.
“Maksudnya, Tengku?” Syaifullah nampak binggung. Selama enam bulan tinggal di markas yang berada di tengah hutan belantara itu, Nazarudin juga bersamanya. Keponakannya itu juga ikut berlatih bersama. Hanya bedanya, Nazarudin tidak diambil sumpah keanggotaannya oleh panglima komando itu.
“Pakcik terpilih sebagai salah satu anggota yang mewakili wilayah ini untuk ikut pendidikan militer di Libya. Saya ingin, Nazarudin juga ikut program pendidikan ini. Gerakan kita sangat membutuhkan pemuda-pemuda yang cerdas seperti Nazarudin,”
Keringat dingin langsung mengalir deras di kening Syaifullah sesaat mendengarkan ucapan panglimannya itu. Ia tidak bisa mebayangkan bagaimana kehidupan dan nasib mereka nanti di Libya.
“Kapan keberangkatannya, Tengku?” Syaifullah memberanikan diri untuk bertanya.
“Belum ada informasi yang jelas, keberangkatan Pakcik nanti harus disesuaikan dengan kondisi kemanan saat ini,”