Mendengar nama gadis itu disebut oleh Nazarudin, Syaifullah langsung teringat saat malam dia dan amarhumah istrinya betandang ke rumah orang tua gadis itu. Bayang-bayang Teuku Syarif Shafdin langsung terbayang dipikirannya.
“Gadis lain yang lebih cantik dari pada Cut Alysia Pradita, kan, masih banyak, Nak,” Syaifullah mencoba menego.
“Cut Alysia Pradita berbeda, Abuwa,” Ucap Nazarudin sambil memandang ke luar kamar.
“Berbeda?” tanya Syaifulah dengan dahi berlipat.
“Selain parasnya jelita, Alysia pintar dan santun perangainya, Abuwa”
“Oh,” Syaifullah mengangguk ikut membenarkan perkataan Nazarudin. Ia tahu benar tabiat keponakannya itu, bila tekadnya telah bulat, maka tidak ada satu orangpun yang bisa menghalangi kemauannya.
“Ada apa, Abuwa?” tanya pemuda itu ketika melihat pamannya gelisah.
“Kalau kamu tidak ikut ke Libya, Abuwa binggung mau memberikan alasan apa kepada panglima wilayah,”
“Alysia sekolah di kelas 2 SMA, Abuwa,”
“SMA?” Syaifulah terperanjat.
“Iya, Benar, Abuwa,”
“Lalu, apa kaitannya dengan alasan yang akan Abuwa berikan kepada panglima?” tanya Syaifullah lagi.
“Nazar akan menunggu Alysia sampai tamat SMA dan akan mengajaknya bersama ke Libya,”
Mendengarkan penuturan ponakannya, Syaifullah langsung bisa menangkap benang merah pembicaraannya. Nazarudin bukan menolak untuk mengikuti pendidikan di Libya. Tetapi, dia ingin beragkat bersama Alysia ke negara yang dipimpin oleh presiden Muammar Khadafi itu.
Bagai memakan buah simalakama, kondisi Syaifullah kini serba salah. Ia memutar otak untuk segera mencari pemecahan masalah ini. Nazarudin binggung melihat pamannya bolak-balik keluar masuk ruangan itu tanpa mengerjakan sesuatu yang jelas. Sesekali, lelaki itu mengusap-usap jenggotnya yang telah tumbuh dengan panjang.
“Nah, Abuwa ada ide,” Seru Syaifullah. Wajahnya yang semula murung langsung berubah senang.
“Ide apa, Abuwa?” pemuda itu mengikuti pamannya melangkah ke arah pintu kamar.