Yeben berulang kali menatap jam dinding yang melekat di papan Pos Satgas BKO, Ia sudah tidak sabar menanti jam itu mengarah ke pukul 2 siang. Ia tidak ingin melewatkan momen Alysia saat pulang sekolah. Lelaki itu hanya bisa melihat Alysia dua kali dalam sehari.
Alysia akan melewati posko itu saat berangkat dan pulang sekolah. Setiap jam-jam tersebut, Yeben telah setia menanti di depan posko. Dari balik kaca hitam yang tidak tampak dari luar itu, ia memperhatikan Alysia. Setiap sore di hari Senin, Rabu, dan Jumat, Yeben akan mencuri-curi pandang ke arah Musala, tempat dimana gadis itu bersama remaja putri desa Aleu Pineung lainnya mengaji.
“Piket, Ben?” tanya Ryan saat mendapati Yeben sedang berada di ruang pos yang terletak di teras depan.
“Tidak,” jawab Yeben singkat. Matanya masih tetap fokus ke arah jalan.
“Jadi, ngapain Loe disini? Bikin sempit ruang ini aja,”
“Sebentar aja, aku mau lihat seseorang lewat,”
“Heduh, cewek yang mengaji di musala itu lagi?” Tanya Ryan dengan nada menyelidik.
“Iya,”
“Cemen amat sih Loe, masa kerjaan cuman ngintip-ngintip doang, ngabisin waktu dan tenaga aja,”
“Jadi, Aku harus bagaiman, dong?” tanya Yeben binggung. Lelaki itu benar-benar tidak paham soal urusan gadis, pacaran, atau sejenisnya. Berbeda jauh dengan Ryan, yang dikenal sebagai playboy kelas tinggi di angkatan mereka.
“Ya, langsung ungkapkanlah sama doi, kalau loe suka dia. Kalau cuman diinti-intip doang kayak gini, sampe masa tugas kita selesai di Aceh, cewek itu gak bakalan tahu.”
Yeben membenarkan ucapan Ryan. Bila hanya melakukan kegiatan yang sama setiap harinya, gadis itu pasti tidak akan mengetahui gejolak hatinya. Sedangkan, Yeben tidak punya waktu yang lama di Aceh. Mereka tidak tahu kapan penempatan tugas di Peurlak akan berakhir. Bahkan, sewaktu-waktu anggota mereka bisa saja di rowling tempat antar kabupaten.
“Jadi, aku harus bagaimana?” tanya Yeben sambil mengaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
“Ya usaha, lah,”
“Usaha bagaimana?” Yeben menatap serius ke arah Ryan.
“Ntar deh, gue pikirin dulu,” Jawab Ryan dengan santai.
***
Sudah dua hari, Yeben menagih janji kepada Ryan terkait usaha untuk mengutarakan perasaan hatinya kepada Alysia. Ryan yang awalnya menganggap hal ini sepele, kini ikut pusing dan binggung. Di daerah ini, pertemuan dua orang yang bukan muhrim menjadi hal yang sulit. Orang-orang akan langsung menatap curiga bila ada sepasang kesasih yang tengah duduk di tepi pantai atau di tempat sepi lainnya. Bahkan, minggu lalu, sepasang kekasih di arak keliling kampung karena kedapatan oleh warga sedang duduk berduaan di jalan sepi menuju persawahan.
Ternyata, Aceh berbeda jauh dengan Jakarta terkait tentang masalah ini. Tradisi Aceh, terutama daerah Peurlak, sangat lekat dengan nilai-nilai agama islam. Semua kegiatan yang dilakukan di kawasan ini diatur secara sistem Syariat Islam yang telah berlaku di sejak jaman pemerintahan Raja Iskandar Muda.
Bila saja, gadis itu bukan Alysia, Ryan pasti bisa mengusahakan pertemuan mereka dengan cara sembunyi-sembunyi. Tapi, gadis itu berbeda. Ia adalah anak seorang tokoh ulama terkemuka di Peurlak. Ayahnya disegani dan menjadi panutan banyak orang. Gerak-gerik Alysia dan kegiatannya sehari-hari selalu di bawah pengawasan kedua orang tuanya. Ia berada di luar rumah hanya saat sekolah dan mengaji di musala. Selain waktu itu, bila berpergian, gadis itu akan selalu di temani oleh ibunya.
“Jadi, aku harus bagaimana, Ryan?” tanya Yeben saat menemui sahabatnya itu di ruang jaga pos Satgas.