Syaifullah tidak bisa menyembunyikan luapan amarahnya kepada keluarga Tengku Syarif Shafdin. Sudah dua kali, keluarga itu membuatnya kecewa. Baginya, Ayah Alysia telah menabuh peperangan dengannya. Dua kali penolakan. Penalokan pertama oleh ibu Alysia saat dia dan mendiang istrinya meminta bantuan mengenai data pemuda yang menjadi anggota di yayasan Harapan Kasih Ibu dan yang kedua penolakan ayah Alysia saat dia dan Bardan datang kembali kerumah itu untuk meminang putrinya.
Mata Syaifulah merah menyala. Larva kemarahan tersirat jelas di tatapannya. Tanpa perlu dijelaskan, semua anggota di markas tahu bahwa dia sedang memendam kemarahan yang hebat. Dendam telah menutup mata hati lelaki itu. Kini, lelaki itu tengah berpikir keras mencari jalan agar dendamnya pada ulama kharismatik itu dapat segera terbalas.
Syaifullah tidak bisa memejamkan mata. Ia menatap sedih ke arah Nazarudin yang telah terlelap di sampingnya. Ia sengaja tidak memberitahu perihal penolakan ayah Alysia siang tadi kepadanya. Ada misi rahasia yang telah direncanakan oleh lelaki itu terhadap keluarga Teuku Syarif Shafdin.
Syaifullah beranjak dari pembaringannya. Ia menyelimuti Nazarudin terlebih dahulu sebelum melangkah ke halaman depan markas. Di sana, lima temannya sesama anggota tengah bertugas menjaga keamanan di sekitar markas malam itu. Mereka menghidupkan api seadanya untuk menghalau nyamuk-nyamuk hutan yang terkenal ganas.
Kepada lima temannya yang tengah berjaga malam itu, Syaifullah mengutarakan maksudnya. Ia menceritakan semua kronologi kejadian yang telah dialaminya siang tadi dan pagi saat bersama Aminah kepada pasukan itu. Dengan air mata yang berlinang, lelaki itu meluahkan segala duka dan kesedihan yang dideritanya akibat ulah keluarga Teuku Syarif Shafdin. Amarah kelima pasukan itu ikut tersulut setelah mendengar kata-kata Syaifullah. Mereka pun ikut menyetujui dan berjanji akan membantu Syaifullah untuk membalaskan dendamnya kepada keluarga kecil itu.
***
Minggu sore, Pos Satgas BKO terlihat sepi. Biasanya para pemuda yang bermain bola di lapangan sekolah akan melintas beramai-ramai di depan pos itu. Ryan sengaja mengisi buku teka teki silang untuk membunuh rasa jenuhnya.
“Ryan, kita piket malam ini kan?” suara Yeben dari arah pintu masuk pos membuyarkan kosentrasinya.
“Masa? Aku kan biasanya piket malam senin bareng si Dodi, kok tumen kena piket malam bareng Loe?” Ryan mengetuk ujung pulpen di dahinya.
“Iya, Protab baru, tu kertas pembagian tugasnya baru di tempel Komandan Rudi di dinding ruang tengah.”
“Astaga, gue kagak tahu, padahal gue udah janji akan menelpon Siska malam nanti,” Ryan menutup buku teka-teki silang bergambar artis Paramitha Rusadi di tangannya.
“Siska?” Yeben melototkan matanya ke arah Ryan, “Bukannya nama pacarmu, siapa, aku lupa, eh, betul, Laras,” Yeben mengingat-ingat.
“Ini, kenalan baru,” Ucap Ryan setengah berbisik.
“Ih, kamu gak setia,”
“Kan, masih tahap PDKT, istilahnya, sebelum janur kuning melambai, kita masih bisa dong, menetukan pilihan,” Ryan memicingkan sebelah matanya. ”Jadi, gimana, ni, Ben?” tanyanya lagi.
“Gimana apanya?”
“Aku udah janji buat menepon Siska malam ini,” ucap Ryan dengan wajah memelas.
“Kan, kamu bisa menelpon dari pos ini, janji deh, aku gak bakalan nguping,”
“Hadeh,” Ryan menepuk jidatnya tiga kali,” Disini bising Yeben, loe gak lihat, pos ini berhadapan langsung dengan jalan raya, bisa malu gue dilihat orang-orang yang lewat teriak-teriak macam tarzan,”