Syaifullah dan kelima temannya telah turun gunung menuju desa Alue Pineung ba’da Isya tadi. Mereka mengunakan seragam lengkap ditambah sebo untuk menutup wajah, mereka membawa senjata lengkap sebagai pelindung diri. Mereka turun gunung kali ini tanpa sepengetahuan komandan wilayah. Misi mereka kali ini bukan untuk urusan oraganisani, tapi murni karena urusan pribadi.
Sesampainya di depan pintu rumah Tengku Syarif Shafdin, Keenam lelaki itu langsung berpencar. Tiga orang menjaga di teras depan dua orang menjaga di sebelah kiri rumah. Sebelah kanan rumah itu berbatasan langsung dengan hamparan tambak ikan, sehingga tidak ada pasukan yang betugas mengawasi bagian ini. Seorang anggota langsung mengetuk pintu rumah. Cut Zainab bergegas membuka pintu tanpa melihat siapa tamu yang datang dari balik tirai jendela.
“Assalamulaikum, Tengku ada?” ucap salah satu teman Syaifullah, saat mendapati Cut Zainab yang membukakan pintu.
“Waalaikumsalam, Anda siapa ya?” Selidik Cut Zainab sebelum memanggil suaminya yang tengah berada di ruang makan.
“Kami ada urusan sedikit dengan beliau,” Ucap lelaki itu tanpa menghiraukan pertayaan wanita itu.
“Kalau boleh tau, urusan apa, ya?” tanya Cut Zainab penasaran.
Belum sempat lelaki itu menjawab, Teungku Sayarif Shafdin sudah berada di ambang pintu yang berbatasan dengan ruang tamu. Ia langsung bergegas menyusul istrinya, ketika mendengar suara ribut-ribut dari arah depan. Ia sangat terkejut saat mendapati tiga orang berbaju loreng lengkap dengan senjata laras panjang telah masuk ke rumahnya.
Lelaki itu berusaha bersikap setenang mungkin. Ia memberi kode kepada istrinya agar mundur dan membiarkannya mengambil kendali terhadap ketiga tamu yang tidak dikenal itu. Cut Zainab bergegas menuju arah dapur. Dan dengan cemas meninggalkan suaminya sendiri di ruang tamu.
Cut Zainab segera menuju kamar putrinya, Ia menceritakan sekilas kejadian di ruang tamu kepada Alysia dengan suara terbata-bata. Nada suara ibu Alysia menyiratkan ketakutan yang dalam. Cut Zainab segera menyeret tangan Alysia ke arah dapur dan menyuruhnya bersembunyi di bawah meja dapur.
“Nak, bila nanti terdengar suara, kamu tetap berada disini ya, jangan kemana-mana,”
“Suara apa, Umi?” Alysia tampak binggung.
“Suara apa saja, termasuk suara tembakan senjata,” Ucap Uminya, keringat dingin terlihat mengalir di kening wanita itu.
Mendengar ucapan ibunya, Alysia menutup mulutnya dengan kedua tangan. Ia takut suaranya saat tekejut di dengar oleh orang-orang yang berada di ruang depan. Ibunya menyusul ke arah depan. Dari arah tempatnya sekarang bersembunyi, ia dapat mendengar samar-samar pencakapan dari arah depan.
“Kalian berdua, tidak bisa menghargai perasaan orang lain,” terdengar suara bentakan seorang laki-laki.
“Menghargai perasaan bagaimana maksudnya, Pak?” Suara Abi Aysia terdengar lembut mencoba meredam kemarah lelaki itu.
“Alah, kalian tidak perlu pura-pura lupa, Pagi itu saat aku dan istriku datang kesini meminta data pemuda di Yayasan Kasih Ibu, tak kalian hiraukan,” Suara lelaki yang menjadi lawan bicara orang tua Alysia berbicara dengan nada tinggi.