Yeben memperhatikan layar putih yang membentang di hadapannya. Kepalanya masih terasa sangat berat. Lengan kirinya yang terbalut kain kasa masih terasa ngilu. Ia mengamati seisi ruangan bercat putih itu dengan heran.
“Alhamdulillah, Loe udah sadar, Ben,” terdengar suara Ryan dari ujung kanan ruangan putih itu. Ia telah menjaga Yeben di ruangan itu sejak malam tadi.
“Ini dimana?” tanya Yeben sesaat melihat Ryan dari arah bed pasien.
“Di rumah sakit Umum Langsa, kami membawamu tadi malam dalam keadaan pingsan,”
“Hah, aku pingsan?” tanya Yeben dengan binggung.
“Iya, Loe kehilangan banyak darah, akibat luka tembakan di lengan kiri itu,” Ryan menunjuk lengan Yeben.
“Oh, oiya, bagaimana keadaan Alysia dan keluarganya?”
Ryan langsung menundukkan kepala saat mendengar pertanyaan Yeben. Ia merasa berat untuk menceritakan keadaan terkini keluarga Alysia.
“Ada apa, Ryan?” tanya yeben lagi ketika meihat perubahan wajah lelaki itu.
“Kedua orang tua Alysia tewas saat penyerangan tadi malam,” Ryan menjawab dengan sedih.
“Apa?” Yeben memutar tubuhnya ke arah Ryan sehingga menekan luka bekas tembaknya.
“Hati-hati, Ben, luka loe,” Ryan mengingatkan.
“Iya, aku lupa,” Ucap Yeben lalu membetulkan letak tangannya. “Lalu, Alysia?” tanya Yeben lagi.
“Alysia selamat, hanya saja, gadis itu terlihat sangat terpukul atas kejadian malam tadi.”
“Iya, tadi malam saja, saat aku menolongnya, dia sangat shock,”
“Ben,” Ryan menatap serius wajah Yeben.
“Ada apa?”
“Gue jadi penasaran, kok loe bisa tau kalau di rumah Alysia sedang terjadi pengepungan,” Ryan menyelidik, ia lalu merapatkan kursinya ke dekat bed pasien, takut suaranya terdengar oleh pasien di sebelah kanan Yeben.
“Aku juga tidak tau, yang pasti, malam tadi, aku sangat gelisah. Pikiranku selalu teringat Alysia,”
“Ah, mungkinkah,” Ujar Ryan tidak percaya. “Atau, Alysia yang mengirimkan pesan?” tanya Ryan lagi dengan nada penasaran.
“Swear, aku serius,” Yeben mengangkat dua jarinya.
“Berarti, kebetulan sekali, ya,” Ryan menatap Yeben dengan sirat wajah yang masih memeram curiga.